Medan, Mata4.com — Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan tuntutan terhadap Aipda Alfi, yang diduga sebagai aktor intelektual dalam kasus perdagangan sisik trenggiling seberat 1,2 ton. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dengan hukuman 9 tahun penjara, denda Rp1 miliar, serta kewajiban membayar uang pengganti senilai barang bukti yang disita, sesuai peraturan perundang-undangan mengenai satwa dilindungi.
Kronologi Kasus
Kasus ini terungkap setelah aparat kepolisian melakukan penyelidikan terkait perdagangan ilegal sisik trenggiling. Sisik trenggiling merupakan bagian dari satwa dilindungi, sehingga peredaran dan penjualannya tanpa izin merupakan pelanggaran hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Menurut keterangan JPU, Aipda Alfi diketahui memiliki peran sebagai pengendali jaringan perdagangan sisik trenggiling ini. Ia diduga mengetahui proses pengumpulan, penyimpanan, hingga distribusi sisik trenggiling ke pasar gelap, sehingga layak dituntut pidana penjara yang cukup berat.
Dampak Perdagangan Ilegal
Perdagangan ilegal sisik trenggiling tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berdampak serius terhadap kelestarian satwa dan keseimbangan ekosistem. Trenggiling, yang populasinya terus menurun, menjadi salah satu satwa yang terancam punah akibat perburuan dan perdagangan gelap. Aktivis lingkungan menyatakan bahwa setiap kilogram sisik yang diperdagangkan berarti berkurangnya individu trenggiling di habitat aslinya.
“Perdagangan sisik trenggiling memiliki dampak ekologis yang besar. Satwa ini berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, termasuk pengendalian serangga. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk menghentikan praktik ilegal ini,” ujar salah satu aktivis lingkungan.
Tanggapan Hukum dan Proses Persidangan
Kuasa hukum Aipda Alfi menyatakan akan mempelajari tuntutan tersebut dan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya, termasuk hak terdakwa untuk mengajukan pembelaan dan banding. Persidangan diharapkan tetap berjalan secara transparan, adil, dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Jaksa Penuntut Umum menegaskan bahwa tuntutan ini bertujuan memberikan efek jera, baik bagi terdakwa maupun bagi pihak lain yang terlibat dalam jaringan perdagangan satwa liar. “Hukuman yang tegas diperlukan untuk mencegah peredaran ilegal satwa dilindungi yang merusak ekosistem dan merugikan bangsa,” kata JPU di ruang sidang.
Reaksi Masyarakat dan Aktivis
Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat dan kelompok konservasi. Banyak pihak menilai bahwa tindakan hukum terhadap Aipda Alfi merupakan langkah penting dalam menegakkan aturan perlindungan satwa liar. Beberapa organisasi konservasi juga mendorong pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap perdagangan satwa ilegal dan meningkatkan edukasi publik tentang pentingnya menjaga kelestarian satwa langka.
Salah satu aktivis lingkungan menambahkan, “Selain penegakan hukum, edukasi masyarakat dan peningkatan kerja sama lintas instansi menjadi kunci untuk menghentikan perdagangan ilegal satwa. Kita harus menjaga alam agar generasi mendatang masih bisa melihat satwa seperti trenggiling di habitat aslinya.”
Kesimpulan
Tuntutan 9 tahun penjara terhadap Aipda Alfi menjadi perhatian penting dalam upaya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa dilindungi. Kasus ini tidak hanya menyoroti sisi hukum, tetapi juga dampak ekologis dan sosial dari perdagangan ilegal satwa. Dengan penegakan hukum yang tegas, diharapkan praktik perdagangan satwa liar dapat diminimalkan, dan kelestarian satwa seperti trenggiling dapat terjaga untuk masa depan.

