Lampung Selatan, mata4.com – Menanggapi pemberitaan di salah satu media daring terkait protes penggunaan tema tuping dalam Festival Krakatau, tokoh adat dari Lampung Selatan, Doni Afandi, S.E., dengan gelar adat Kakhiya Pukhba Makuta, memberikan klarifikasi bahwa tuping (topeng adat) merupakan warisan budaya kolektif masyarakat adat Lampung, bukan milik eksklusif keluarga atau keturunan tertentu.
Pernyataan ini disampaikan merespons artikel bertajuk “Keluarga Ahli Waris Radin Inten II Protes Tema Tuping di Festival Krakatau: Pemprov Lampung Tidak Dilibatkan, Nilai Budaya Diabaikan” yang dimuat TintaRakyat.com. Dalam klarifikasinya, Doni menegaskan bahwa tuping telah menjadi bagian dari identitas budaya Lampung sejak jauh sebelum masa kolonial, bahkan sebelum lahirnya tokoh perjuangan Radin Inten II.
“Budaya seperti tuping adalah hasil dari kearifan kolektif yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur masyarakat adat, baik dari wilayah Saibatin maupun Pepadun. Menjadikannya sebagai milik privat atau keluarga tertentu adalah bentuk penyempitan nilai budaya,” ujar Doni, Minggu (6/7).
Akar Sejarah Tuping dalam Adat Lampung
Doni menjelaskan, tuping memiliki akar kuat dalam sistem adat Paksi Pak Sekala Brak, yang merupakan fondasi budaya dan struktur sosial tertua di Lampung. Empat kepaksian utama, yakni Kepaksian Bejalan Di Way, Belunguh, Nyerupa, dan Pernong, telah lama menggunakan simbol tuping—yang dikenal pula dengan nama sakura di Lampung Barat—dalam berbagai kegiatan adat, pertunjukan seni, dan ritual keagamaan.
“Tuping bukan hanya sekadar topeng, tapi simbol spiritual dan penghormatan terhadap leluhur serta nilai-nilai moral dalam masyarakat adat,” jelasnya.
Budaya tersebut, menurutnya, telah eksis sejak era pra-Islam dan terus berkembang mengikuti dinamika zaman, termasuk saat ajaran Islam mulai masuk ke wilayah Lampung pada abad ke-14 hingga 15.
Meluruskan Narasi Sejarah
Meski menghormati Radin Inten II sebagai pahlawan nasional, Doni menilai narasi yang menyandarkan simbol budaya seperti tuping hanya pada keturunan tokoh tersebut merupakan bentuk distorsi sejarah.
“Radin Inten II adalah sosok penting dalam perjuangan rakyat Lampung, tetapi bukan satu-satunya sumber dari simbol budaya kami. Budaya Lampung jauh lebih tua dari masa hidup beliau,” katanya.
Festival Sebagai Ruang Ekspresi Bersama
Terkait pelaksanaan Festival Krakatau, Doni justru mengapresiasi pemerintah provinsi Lampung dan panitia penyelenggara karena terus mengangkat kekayaan budaya daerah, termasuk tuping, agar lebih dikenal generasi muda.
Ia menilai protes yang menyebut “tidak dilibatkan” tidak seharusnya ditanggapi dengan narasi klaim eksklusif, melainkan dijadikan bahan evaluasi bersama demi kemajuan budaya secara kolektif.
“Budaya harus dikelola secara terbuka, bukan secara privat. Festival adalah ruang bagi semua anak adat untuk berekspresi dan merayakan identitas bersama,” tambahnya.
Menjaga Warisan Budaya dalam Persatuan
Sebagai bagian dari Keratuan Menangsi di Lampung Selatan, Doni menekankan pentingnya merawat budaya Lampung dengan semangat sehuyunan, setawitan, dan mak secadangan, yakni saling mendukung dan membesarkan satu sama lain dalam kebersamaan.
“Budaya Lampung besar bukan karena satu nama, tapi karena semua anak adat bersatu menjaga nilai dan sejarahnya,” tutupnya.
Klarifikasi ini sekaligus menjadi ajakan kepada seluruh masyarakat adat dan pemangku kepentingan di Lampung untuk tidak menjadikan budaya sebagai alat perebutan klaim, tetapi sebagai warisan luhur yang harus dirawat bersama demi generasi mendatang.
