Jakarta, 14 Juli 2025 — Gelombang revisi sejarah kembali mengguncang dunia akademik Indonesia. Sejumlah buku sejarah edisi terbaru yang beredar di sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi menampilkan narasi-narasi baru yang berbeda signifikan dari versi resmi sebelumnya. Tidak sedikit akademisi dan sejarawan yang menyatakan kekhawatirannya terhadap tren ini, menyebutnya sebagai “pengaburan masa lalu” yang bisa berdampak pada pemahaman generasi muda terhadap sejarah bangsa.
Revisi sejarah bukan hal baru, tetapi volume dan arah perubahan narasi kali ini cukup mengejutkan. Beberapa tokoh yang selama ini dianggap pahlawan, kini dikritik tajam atau bahkan dihilangkan. Sebaliknya, figur-figur yang sebelumnya berada di pinggiran sejarah, mulai diangkat ke permukaan dengan narasi heroik.
Narasi Baru, Kekhawatiran Lama
Beberapa buku sejarah edisi baru yang diterbitkan tahun ini misalnya menampilkan sudut pandang berbeda terhadap peristiwa 1965, kemerdekaan Indonesia, hingga peran militer dalam masa Orde Baru. Dalam salah satu buku pelajaran sejarah tingkat SMA, peristiwa G30S tidak lagi disebut sebagai “pemberontakan PKI” secara eksplisit, melainkan sebagai “krisis politik besar yang melibatkan berbagai pihak.”
Perubahan ini membuat sejumlah akademisi bereaksi keras. Prof. Dr. Arif Subekti, sejarawan Universitas Indonesia, menyebut langkah ini sebagai bentuk “rekayasa narasi sejarah” yang dapat merusak objektivitas dan keilmuan.
“Bukan berarti sejarah tidak boleh dikaji ulang. Tapi kalau revisi dilakukan berdasarkan kepentingan politik atau tekanan ideologi tertentu, itu bukan akademik, tapi propaganda,” tegasnya.
Siapa di Balik Revisi Ini?
Penerbitan buku-buku sejarah baru ini sebagian besar disponsori oleh lembaga-lembaga think tank yang berafiliasi dengan berbagai kelompok politik dan organisasi masyarakat. Meski beberapa di antaranya mengklaim bahwa perubahan ini bertujuan untuk memberi “keseimbangan perspektif”, banyak akademisi khawatir akan adanya agenda terselubung.
“Sejarah bisa menjadi alat kekuasaan. Ketika yang menulis sejarah adalah mereka yang sedang berkuasa, maka narasinya bisa diarahkan untuk kepentingan politik saat ini,” ujar Yuniarto Gani, peneliti sejarah independen.
Dampak di Dunia Pendidikan
Di sekolah-sekolah, guru sejarah mulai merasa kebingungan. Beberapa menyampaikan bahwa mereka harus mengajarkan materi baru yang bertentangan dengan buku ajar sebelumnya. Ini tidak hanya membingungkan siswa, tetapi juga menimbulkan keresahan di kalangan pendidik.
“Bayangkan, tahun lalu saya mengajar siswa bahwa tokoh A adalah pahlawan nasional, sekarang disebutkan perannya kontroversial. Anak-anak jadi bingung, mana yang benar?” kata Rini Wulandari, guru sejarah SMA di Bandung.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan mengaku sedang mengevaluasi kurikulum dan buku ajar tersebut. Namun, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menyatakan bahwa evaluasi sejarah adalah hal wajar dalam dunia akademik, selama dilakukan secara ilmiah dan transparan.
“Kita tidak ingin sejarah dibekukan. Tapi kita juga tidak bisa membiarkan sejarah dimanipulasi,” katanya dalam konferensi pers pekan lalu.
Menuju Sejarah yang Inklusif atau Politis?
Para pendukung buku sejarah baru ini berdalih bahwa narasi lama terlalu berat sebelah dan tidak mencerminkan keragaman pengalaman sejarah bangsa. Mereka menyebut revisi ini sebagai bentuk “dekolonisasi narasi” dan upaya memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam.
Namun, bagi banyak akademisi, pertanyaan utamanya adalah: apakah revisi ini dilandasi oleh riset ilmiah atau sekadar didorong oleh kepentingan kelompok?
“Menulis ulang sejarah bukan hal tabu. Tapi harus dilakukan dengan metode, bukti, dan kehati-hatian. Jika tidak, kita hanya akan menciptakan generasi yang hidup dalam mitos baru, bukan kebenaran,” tegas Prof. Arif.
Masa Depan Sejarah di Tangan Siapa?
Di tengah perdebatan ini, publik dihadapkan pada realitas bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin bagi masa kini dan arah masa depan. Ketika narasi sejarah dipertaruhkan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya memori kolektif, tetapi juga identitas dan arah kebijakan bangsa.
Kini, yang menjadi pertanyaan besar: siapa yang berhak menulis sejarah Indonesia? Dan untuk kepentingan siapa sejarah itu ditulis?
‘Propaganda sejarah’
Proyek ini melibatkan 113 akademisi termasuk sejarawan, tetapi sedikitnya satu dari mereka telah mengundurkan diri.
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan kepada AFP bahwa dia mengundurkan diri karena perselisihan mengenai bahasa — istilah “sejarah awal” digunakan sebagai pengganti “prasejarah” untuk peradaban kuno Indonesia.
Fadli mengatakan kepada para anggota parlemen bahwa frasa tersebut dihindari karena diciptakan oleh mantan penguasa Belanda di Indonesia.
Namun Harry mengatakan hal itu menunjukkan pengaruh politik terhadap teks tersebut.
“Sangat jelas bahwa otoritas editor tidak ada. Mereka berada di bawah kendali pemerintah,” ujarnya.
Kehebohan seputar proyek tersebut telah menyebabkan sejumlah anggota parlemen oposisi dan kritikus menyerukan penangguhan atau pembatalannya.
Aktivis Maria Catarina Sumarsih, yang putranya terbunuh dalam tindakan keras militer setelah jatuhnya Suharto, menuduh para penulis tersebut memutarbalikkan masa lalu.
“Pemerintah menipu publik… terutama kaum muda,” katanya.
Sementara yang lain mengatakan mendokumentasikan masa lalu Indonesia sebaiknya diserahkan kepada akademisi.
“Jika pemerintah merasa bangsa ini membutuhkan sejarah yang bisa membuat kita bangga… itu tidak bisa dilakukan melalui propaganda sejarah versi pemerintah,” kata Marzuki.
“Itu seharusnya merupakan hasil karya para sejarawan.”
