Jakarta, 15 Juli 2025 – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan menyampaikan daftar catatan kritis terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Koalisi menilai, draf RKUHAP yang saat ini tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah mengandung berbagai ketentuan bermasalah yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan memperkuat dominasi aparat penegak hukum.
Menurut koalisi, RKUHAP sebagai salah satu pilar sistem hukum pidana nasional seharusnya dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel bagi seluruh pihak, baik tersangka, korban, maupun saksi. Namun kenyataannya, sejumlah pasal dalam rancangan tersebut justru dinilai membuka celah bagi praktik kriminalisasi, penyiksaan, dan penyalahgunaan wewenang.
Penangkapan dan Penahanan Rentan Disalahgunakan
Salah satu catatan utama yang disoroti koalisi adalah mengenai ketentuan penangkapan dan penahanan. Dalam draf RKUHAP, aparat penegak hukum diberikan kewenangan yang lebih luas untuk menangkap dan menahan seseorang, tanpa kontrol yang memadai dari lembaga peradilan.
“Perpanjangan masa penahanan tanpa adanya kontrol efektif dari hakim berpotensi melanggar prinsip praduga tak bersalah dan memperbesar risiko penyiksaan di tahap penyidikan,” ujar Eko Yulianto dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Ia menambahkan, praktik-praktik penahanan sewenang-wenang masih marak terjadi di lapangan, dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada aparat tanpa pengawasan justru akan memperburuk keadaan.
Perlindungan Hukum Lemah
Koalisi juga menyoroti lemahnya jaminan hak-hak dasar bagi tersangka, korban, dan saksi dalam proses hukum. Beberapa pasal dalam draf RKUHAP dinilai tidak memberikan jaminan bantuan hukum yang cukup sejak awal proses penyidikan, serta tidak memberikan perlindungan maksimal bagi korban kejahatan.
“RKUHAP semestinya tidak hanya berpihak pada aspek penindakan, tetapi juga pada perlindungan korban dan pemulihan keadilan,” ujar Maria Nainggolan dari LBH Jakarta. “Namun dalam draf yang ada sekarang, aspek tersebut justru dikesampingkan.”
Menurut Maria, korban kejahatan sering kali kesulitan mendapatkan akses informasi, keadilan, dan perlindungan selama proses hukum berlangsung. RKUHAP seharusnya menjawab tantangan ini, bukan memperparahnya.
Minimnya Pendekatan Restoratif
Koalisi juga menyayangkan minimnya ruang bagi pendekatan keadilan restoratif dalam draf RKUHAP. Padahal, dalam sistem hukum pidana modern, pendekatan ini dianggap penting untuk menyelesaikan perkara pidana dengan prinsip pemulihan, bukan sekadar pembalasan.
“Keadilan restoratif belum menjadi prinsip utama dalam RKUHAP. Padahal, di banyak negara, pendekatan ini justru memperkuat kualitas peradilan dan mengurangi beban sistem pidana formal,” jelas Nurkholis Hidayat dari KontraS.
Ia menegaskan, banyak perkara bisa diselesaikan melalui dialog dan mediasi, terutama untuk kasus-kasus ringan atau yang melibatkan anak dan kelompok rentan. Tanpa pendekatan ini, sistem hukum akan terus menumpuk perkara dan menciptakan ketidakadilan struktural.
Proses Pembahasan Dinilai Tidak Transparan
Tak hanya soal isi, Koalisi juga menyoroti proses penyusunan dan pembahasan RKUHAP yang dinilai tertutup dan tidak partisipatif. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengaku tidak dilibatkan dalam forum-forum resmi pembahasan RKUHAP, padahal substansi yang dibahas akan berdampak luas terhadap masyarakat.
“Proses legislasi ini harus dilakukan secara terbuka. DPR dan pemerintah wajib menjamin partisipasi publik, apalagi ini menyangkut hak-hak dasar warga negara,” tegas koalisi dalam pernyataannya.
Koalisi mendesak agar pembahasan RKUHAP dihentikan sementara sampai seluruh catatan kritis dari publik dipertimbangkan secara serius. Mereka juga meminta agar naskah draf terbaru RKUHAP dibuka ke publik secara resmi, sehingga masyarakat dapat memberikan masukan secara substansial.
Desakan untuk Revisi dan Pelibatan Publik
Koalisi menegaskan bahwa mereka tidak menolak pembaruan hukum acara pidana. Namun, mereka menekankan bahwa revisi RKUHAP harus diarahkan untuk memperkuat perlindungan hak-hak warga negara, menegakkan prinsip keadilan, dan menciptakan sistem hukum yang akuntabel.
“Kami mendorong adanya pembahasan ulang terhadap pasal-pasal bermasalah. Jangan sampai RKUHAP yang baru justru menjadi alat represi yang sah secara hukum,” tutup pernyataan mereka.
Dengan berbagai catatan tersebut, Koalisi masyarakat sipil berharap DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dalam mengesahkan RKUHAP. Reformasi hukum pidana, menurut mereka, harus dilakukan secara inklusif, transparan, dan berpihak pada rakyat.
