Jakarta, 18 Juli 2025 — Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mendorong percepatan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dorongan ini disampaikan dalam rapat kerja bersama Kementerian Perdagangan RI di Kompleks Parlemen Senayan, menyusul kekhawatiran bahwa konsumen Indonesia belum mendapatkan perlindungan maksimal, terutama di tengah maraknya arus produk luar negeri dan perkembangan pesat transaksi digital.
Wakil rakyat dari Komisi VI menilai bahwa undang-undang yang telah berlaku selama lebih dari dua dekade tersebut tidak lagi relevan untuk mengakomodasi kebutuhan dan tantangan perlindungan konsumen di era digital dan globalisasi saat ini.
“UU Perlindungan Konsumen saat ini sudah terlalu usang. Banyak hal yang tidak termuat, seperti perdagangan digital, perlindungan data pribadi, serta sistem pengaduan berbasis teknologi,” ujar salah satu anggota Komisi VI dalam forum resmi.
Konsumen Belum Terlindungi Sepenuhnya
Data dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menunjukkan tingginya angka pengaduan dari masyarakat terkait praktik dagang yang merugikan konsumen. Sebagian besar kasus berkaitan dengan produk tidak sesuai, jasa yang mengecewakan, serta transaksi daring yang tidak transparan.
Komisi VI juga menyoroti meningkatnya dominasi produk asing di pasar dalam negeri, termasuk di sektor pangan, kesehatan, dan ritel, yang sering kali tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai bagi konsumen lokal.
Poin Penting dalam Revisi
Komisi VI mendorong agar revisi UU Perlindungan Konsumen mencakup beberapa hal berikut:
- Perlindungan dalam transaksi digital, termasuk e-commerce dan platform internasional.
- Sistem pengawasan dan sanksi tegas bagi pelaku usaha yang melanggar hak konsumen.
- Peningkatan edukasi dan literasi konsumen, terutama di kalangan masyarakat daerah.
- Penguatan lembaga pengaduan dan mediasi sengketa konsumen agar lebih cepat dan efisien.
Dukungan dari Pemerintah
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam kesempatan yang sama menyambut baik inisiatif DPR. Ia menyatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan draf perubahan UU dengan pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis teknologi.
“Kami siap menyusun regulasi baru yang lebih kuat, adil, dan berpihak pada konsumen. Ini bagian dari komitmen pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara pelaku usaha dan hak-hak masyarakat,” kata Zulkifli.
Menuju Sistem Perlindungan Konsumen yang Lebih Kuat
Komisi VI DPR menegaskan bahwa revisi UU ini harus menjadi prioritas legislasi agar konsumen Indonesia tidak lagi menjadi pihak yang lemah dalam rantai perdagangan. Diharapkan, dengan regulasi baru yang lebih relevan dan modern, masyarakat dapat bertransaksi dengan aman, nyaman, dan terlindungi di berbagai sektor ekonomi.
