Jakarta, Juli 2025 – Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, kembali menggaungkan inisiatif baru dalam upaya menarik investasi asing masuk ke Tanah Air. Kali ini, strategi yang diusung adalah mendorong pendirian family office—lembaga pengelola kekayaan pribadi milik orang super kaya dunia—agar mendirikan kantor dan menanamkan modalnya di Indonesia. Namun muncul pertanyaan: seberapa manjur strategi ini?
Apa Itu Family Office?
Family office merupakan entitas privat yang mengelola kekayaan, investasi, dan urusan finansial suatu keluarga sangat kaya (ultra-high net worth individuals/UHNWI). Lembaga ini umumnya bersifat tertutup dan melayani kebutuhan yang kompleks: mulai dari pengelolaan aset, investasi lintas negara, hingga perencanaan warisan dan filantropi.
Model ini telah tumbuh subur di pusat keuangan dunia seperti:
- Singapura: 1.500+ family office (data 2023)
- Hong Kong: ~1.400
- Dubai dan Abu Dhabi: terus meningkat pasca pandemi
- AS dan Swiss: tradisional dan sangat mapan
Luhut: Ribuan Investor Sudah Berminat
Dalam berbagai kesempatan, Luhut menyatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan regulasi khusus untuk family office. Bahkan, menurutnya, sudah ada puluhan ribu calon investor yang menunjukkan minat untuk mengelola kekayaannya dari Indonesia.
“Kita sudah identifikasi sekitar 28.000 orang kaya dunia yang sedang cari lokasi untuk family office baru. Beberapa sudah menyatakan minat serius,” klaim Luhut dalam forum internasional di Bali (Juli 2025).
Menurut Luhut, lokasi strategis seperti Bali, Jakarta, dan bahkan Ibu Kota Nusantara (IKN) akan menjadi magnet utama, terlebih jika dibarengi dengan insentif pajak dan kemudahan perizinan.
Pemerintah Bergerak Cepat: Tim Teknis, OJK, dan DEN Turun Tangan
Sejak Maret 2025, pemerintah membentuk tim lintas kementerian yang melibatkan:
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
- Kementerian Keuangan
- Kemenko Perekonomian
- Dewan Energi Nasional (DEN) untuk insentif energi hijau
Fokus mereka adalah menyusun aturan komprehensif mencakup:
- Kemudahan perizinan
- Insentif pajak jangka panjang
- Kepastian hukum dan perlindungan data
- Skema penempatan dana di sektor produktif
Pemerintah juga membuka kemungkinan bagi family office untuk menanamkan modal di proyek strategis seperti energi bersih, digitalisasi, dan infrastruktur IKN.
Potensi Manfaat bagi Ekonomi RI
Bila berhasil, strategi ini diyakini dapat membawa banyak manfaat:
1. Tambahan Devisa
Masuknya dana dalam jumlah besar bisa menambah cadangan devisa negara dan menstabilkan nilai tukar rupiah.
2. Lapangan Kerja dan Transfer Pengetahuan
Family office tidak hanya membawa uang, tetapi juga kebutuhan jasa profesional: akuntan, penasihat hukum, manajer aset, hingga teknologi. Hal ini bisa membuka ribuan lapangan kerja baru, terutama di Bali dan IKN.
3. Mendorong Investasi Langsung
Jika family office diarahkan untuk masuk ke proyek fisik seperti energi hijau, agritech, hingga properti hijau, maka efek ekonominya bisa langsung dirasakan masyarakat lokal.
Namun, Risiko Juga Tidak Kecil
Meski tampak menjanjikan, sejumlah ekonom memperingatkan adanya risiko besar dari kebijakan ini jika tidak dirancang hati-hati.
1. Risiko Pencucian Uang
Family office bisa menjadi celah untuk menyembunyikan asal-usul dana. Tanpa sistem pengawasan dan audit yang kuat, Indonesia bisa menjadi tempat baru bagi dana “abu-abu” dari luar negeri.
2. Pelemahan Pajak
Pemberian insentif pajak berlebihan justru bisa memperlemah upaya reformasi perpajakan nasional. Para ekonom menyoroti kemungkinan bahwa dana yang masuk tidak membayar pajak yang layak di Indonesia.
3. Investasi Tidak Produktif
Jika dana family office hanya disimpan dalam bentuk aset keuangan atau properti mewah (villa, resort), maka tidak ada multiplier effect ke ekonomi riil.
Pendapat Pakar: Jangan Terlalu Optimis
Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono, menilai langkah ini terlalu optimistis dan lebih cocok sebagai strategi jangka pendek untuk memperkuat posisi rupiah, bukan transformasi ekonomi.
“Family office pada dasarnya hanya kendaraan keuangan, bukan investor strategis. Mereka bisa masuk hari ini dan keluar kapan saja. Harus ada insentif yang benar-benar mengikat agar uang yang masuk tidak jadi ‘uang parkir’,” ujar Yusuf.
Ronny P. Sasmita, analis ekonomi lainnya, menambahkan bahwa Indonesia tidak memiliki infrastruktur hukum dan keuangan yang setara Singapura.
“Kalau ingin bersaing dengan Singapura, kita harus bisa menjamin tiga hal: privasi, perlindungan hukum, dan profesionalisme. Ini butuh reformasi menyeluruh, bukan sekadar promosi,” jelasnya.
Tantangan: Bisakah Indonesia Saingi Singapura dan Dubai?
Pesaing utama Indonesia dalam menarik family office adalah negara yang telah menyiapkan diri selama puluhan tahun:
- Singapura menawarkan privasi tinggi, regulasi yang fleksibel, dan lingkungan ramah pajak.
- Dubai memberikan kebebasan finansial dan iklim investasi yang sangat progresif.
- Hong Kong masih menjadi pusat kekayaan Asia meski ketegangan politik meningkat.
Indonesia perlu menciptakan keunggulan kompetitif tersendiri. Apakah itu insentif lebih besar? Lokasi yang eksotis seperti Bali? Atau peluang investasi di proyek “hijau”?
Kesimpulan: Perlu Optimisme Rasional
Strategi menarik family office ke Indonesia memiliki potensi besar—tetapi bukan tanpa risiko. Potensi keuntungan fiskal dan devisa harus diimbangi dengan pengawasan yang kuat, regulasi yang adil, serta strategi jangka panjang agar investasi yang masuk bersifat produktif dan berkelanjutan.
Bisa Berhasil Jika:
- Regulasi dibuat komprehensif dan transparan
- Pemerintah disiplin dalam seleksi investor dan audit dana
- Ada arahan tegas agar dana mengalir ke sektor prioritas
Gagal Jika:
- Terlalu fokus pada pemasukan jangka pendek
- Sistem pengawasan lemah
- Hanya menarik investasi di sektor konsumtif atau properti mewah
Akhir Kata
Family office bisa menjadi “gerbang emas” masuknya uang besar ke Indonesia. Namun, gerbang itu juga bisa menjadi lubang hitam jika tidak dijaga. Pemerintah harus berjalan di garis tipis antara ramah investasi dan menjaga integritas sistem keuangan nasional.
Pertanyaannya bukan sekadar ‘mungkin atau tidak’, tetapi: apakah kita siap mengelolanya?
