Jakarta, Mata4.com — Produksi jagung pipilan kering (JPK) Indonesia diperkirakan akan turun secara signifikan menjadi hanya 12,12 juta ton pada akhir tahun ini. Penurunan ini terjadi di tengah kebijakan baru pemerintah yang memungkinkan impor jagung dari Amerika Serikat dengan tarif 0%, suatu kebijakan yang menimbulkan kekhawatiran serius dari kalangan petani dan pengamat pertanian nasional.
Dinamika Produksi: Harapan yang Tak Tercapai
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi jagung Indonesia pada semester I 2025 sempat mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 8,07 juta ton, naik dari 7,15 juta ton pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini sebagian besar berasal dari program tanam serentak yang diluncurkan pemerintah pada awal tahun, sebagai bagian dari target ambisius menghasilkan 23 juta ton jagung pada 2025.
Namun, meski sempat optimis, tren produksi mulai mengalami penurunan signifikan pada kuartal kedua. Contohnya, pada April 2025, produksi nasional tercatat hanya 1,27 juta ton, turun dibandingkan April 2024 yang mencapai 1,62 juta ton. Penurunan luas panen akibat faktor iklim dan distribusi bibit yang tidak merata turut memperparah situasi. Pada bulan Mei dan Juni pun produksi menurun, sehingga total produksi hingga Juli diperkirakan hanya mencapai 9,45 juta ton, jauh di bawah ekspektasi.
Menurut proyeksi BPS dan Kementerian Pertanian, produksi jagung nasional hingga akhir Desember 2025 hanya akan mencapai sekitar 12,12 juta ton, atau menurun sekitar 20% dibanding tahun 2024 yang mencapai 15,14 juta ton. Penurunan ini menjadi sinyal penting bahwa ketahanan produksi pangan khususnya jagung, yang menjadi komoditas strategis bagi industri pakan ternak, kini tengah berada dalam tekanan serius.
Impor Bebas Bea Masuk: Potensi Ancaman Bagi Petani
Situasi ini diperburuk oleh keputusan pemerintah yang membuka keran impor jagung dari Amerika Serikat dengan tarif 0%. Kebijakan ini merupakan bagian dari perjanjian dagang bilateral antara Indonesia dan AS, di mana produk pertanian AS—termasuk jagung—diberi akses pasar Indonesia secara bebas bea, sementara produk ekspor Indonesia ke AS justru dikenakan tarif hingga 19%.
Kebijakan ini menuai kritik keras dari kalangan petani. Ketua Umum Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI), Solahuddin, menyebut keputusan tersebut sebagai “tamparan” bagi petani lokal yang selama ini berjuang mempertahankan produksi di tengah berbagai keterbatasan. Ia menilai kebijakan tersebut tidak adil dan kontraproduktif terhadap semangat kemandirian pangan.
“Jagung impor dari AS bisa masuk dengan harga Rp 3.200–3.500 per kilogram, sementara biaya produksi petani kita saja sudah Rp 4.000–5.500 per kilogram. Siapa yang bisa bersaing dalam kondisi seperti itu?” ujar Solahuddin dalam konferensi pers pekan lalu.
Dikhawatirkan, masuknya jagung impor secara besar-besaran akan menyebabkan harga jagung lokal anjlok ke level di bawah Rp 4.000/kg. Sebagai perbandingan, harga acuan pemerintah atau HPP untuk jagung saat ini adalah Rp 5.500/kg. Namun di lapangan, banyak petani melaporkan bahwa harga pembelian dari tengkulak dan distributor bahkan tidak sampai Rp 4.500/kg, terlebih di daerah-daerah dengan akses distribusi yang buruk.

www.service-ac.id
Upaya Pemerintah: Terbatas dan Kurang Terkoordinasi?
Untuk meredam dampak dari kebijakan tarif 0%, pemerintah melalui Perum Bulog berkomitmen menyerap hingga 1 juta ton jagung dari petani selama musim panen tahun ini. Namun, realisasi serapan ini masih jauh dari target. Bulog sendiri mengakui adanya kendala logistik, keterbatasan gudang penyimpanan, serta masalah anggaran subsidi.
Kementerian Pertanian juga terus mendorong program perluasan areal tanam, pendistribusian benih unggul, dan mekanisasi pertanian untuk meningkatkan efisiensi produksi jagung. Namun, banyak petani kecil belum merasakan dampak dari program-program ini secara nyata. Di banyak daerah sentra seperti Gorontalo, Blitar, dan Lampung, petani masih menggunakan alat tradisional dan mengelola lahan sempit di bawah 1 hektar, yang membuat produksi tidak bisa optimal.
Sementara itu, distribusi hasil panen masih menjadi tantangan besar. Biaya pengangkutan dari sentra produksi ke daerah konsumen atau industri pakan ternak seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah sering kali lebih mahal dibanding harga jagung itu sendiri. Akibatnya, ketimpangan harga antar wilayah semakin tajam, membuat petani di daerah terpencil makin sulit menjual hasil panennya dengan harga layak.
Dampak Lebih Luas: Industri Pakan, Ketahanan Pangan, dan Ketergantungan Impor
Jagung merupakan bahan baku utama untuk industri pakan ternak, yang menopang subsektor peternakan seperti ayam pedaging dan telur. Penurunan produksi jagung lokal otomatis menimbulkan kekhawatiran akan kenaikan harga pakan, yang pada akhirnya bisa mendorong inflasi bahan pangan lain seperti daging ayam dan telur.
Tak hanya itu, kebijakan impor bebas tarif juga dikhawatirkan menambah ketergantungan Indonesia terhadap pasokan luar negeri. Padahal, sejak pandemi COVID-19 dan perang Ukraina-Rusia, banyak negara mulai menguatkan strategi ketahanan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan impor. Langkah Indonesia yang membuka impor saat produksi dalam negeri menurun justru dianggap berlawanan arah dengan tren global.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penurunan produksi jagung nasional ke level 12,12 juta ton merupakan sinyal serius bahwa sektor pertanian Indonesia, khususnya jagung, tengah menghadapi tantangan besar. Diberlakukannya tarif impor 0% dari AS menambah tekanan dan mengancam keberlanjutan petani lokal yang menjadi ujung tombak ketahanan pangan.
Beberapa langkah yang mendesak untuk diambil antara lain:
- Peninjauan kembali kebijakan tarif impor, khususnya dalam konteks perlindungan terhadap petani kecil.
- Peningkatan realisasi penyerapan hasil panen oleh Bulog secara cepat, transparan, dan merata di seluruh sentra produksi.
- Peningkatan akses subsidi pupuk, benih unggul, dan mekanisasi pertanian untuk menurunkan biaya produksi petani lokal.
- Pembangunan infrastruktur distribusi jagung nasional, agar harga jual tidak tertekan karena biaya logistik yang mahal.
- Peningkatan daya tawar dalam perjanjian dagang, agar tidak merugikan sektor strategis domestik.
Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, Indonesia bisa kehilangan basis produksi jagung lokal, dan petani akan beralih ke komoditas lain atau bahkan meninggalkan sektor pertanian sama sekali. Dalam jangka panjang, ini akan memperlemah ketahanan pangan nasional dan membuat Indonesia semakin bergantung pada pasokan luar negeri.
