
Jakarta, Mata4.com — Di tengah upaya pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia, suara lantang kembali disuarakan untuk kelompok yang kerap terlupakan: anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Dalam pernyataan terbarunya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyoroti tiga tantangan besar yang masih menghambat penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan seusai mendampingi acara Festival Harmoni Bintang—ajang kreativitas dan inklusi yang digelar untuk merayakan keberagaman anak Indonesia, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Namun di balik senyum dan tawa yang terlihat di panggung festival, Mendikdasmen tak menutup mata pada realita: masih banyak ABK yang belum mendapatkan hak pendidikannya secara layak.
Tantangan Pertama: Minimnya Guru Pendamping Khusus
“Masih sangat banyak sekolah yang belum memiliki guru pendamping khusus,” ujar Abdul Mu’ti. Guru pendamping merupakan ujung tombak dari sistem pendidikan inklusif. Tanpa kehadiran mereka, anak-anak dengan keterbatasan fisik, intelektual, atau emosional akan kesulitan mengikuti pelajaran yang dirancang untuk siswa reguler.
Padahal, seorang guru inklusi bukan sekadar mengajar. Ia harus memahami psikologi anak, mampu membuat penyesuaian kurikulum, dan memastikan ABK dapat belajar dengan rasa aman dan dihargai. Sayangnya, jumlah tenaga pendidik seperti ini masih jauh dari ideal.
Sebagai langkah awal, Kementerian membuka peluang pelatihan massal bagi guru umum agar dapat mengemban peran ganda sebagai pendamping ABK. Ini merupakan bentuk adaptasi cepat di tengah keterbatasan jumlah guru spesialis.

www.service-ac.id
Tantangan Kedua: Terbatasnya Akses Sekolah Inklusi
Masalah kedua yang tak kalah pelik adalah keterbatasan akses sekolah inklusi. Meski secara regulasi semua sekolah bisa menjadi inklusif, realitanya hanya sedikit yang benar-benar siap—baik dari segi fasilitas maupun sumber daya manusianya.
“ABK di daerah-daerah masih harus berjuang keras hanya untuk bisa masuk sekolah,” ujar Mu’ti. Banyak orang tua yang harus mengantar anaknya belasan kilometer hanya demi mencari sekolah inklusi yang benar-benar menerima dan bisa menangani kebutuhan anaknya.
Di daerah terpencil, situasinya lebih kritis. Sekolah reguler belum tentu bersedia menerima ABK karena merasa tidak siap. Padahal, semua anak berhak belajar di tempat yang aman dan mendukung perkembangan mereka.
Tantangan Ketiga: Stigma Sosial Masih Membayangi
Meski undang-undang menjamin pendidikan untuk semua, dalam praktiknya masih banyak ABK yang terhalang oleh stigma masyarakat.
Bukan hanya dari sekolah, namun juga dari lingkungan sekitar dan bahkan orang tua murid lain yang merasa keberadaan ABK bisa “mengganggu” proses belajar anak-anak reguler. Ini adalah tantangan paling sensitif—karena berkaitan dengan persepsi dan kesadaran kolektif.
“Yang harus kita ubah bukan hanya kurikulum, tapi juga cara pandang kita,” tegas Mu’ti. Menurutnya, kampanye kesadaran publik dan sosialisasi tentang pentingnya inklusi menjadi bagian penting dari gerakan ini.
Langkah-Langkah Pemerintah: Bergerak dari Tiga Arah
Mendikdasmen menjelaskan bahwa pihaknya bersama dengan Kemendikbudristek serta Kementerian Sosial telah menyusun beberapa strategi utama:
1. Pelatihan Guru Reguler untuk Inklusi
Dalam waktu dekat, ribuan guru di seluruh Indonesia akan menerima pelatihan mengenai pembelajaran inklusif. Materinya meliputi komunikasi dengan ABK, penyusunan Individualized Education Plan (IEP), hingga penyesuaian metode ajar.
2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah Inklusi
Pemerintah akan mengalokasikan dana khusus untuk membangun dan memperbaiki sekolah agar lebih ramah ABK—mulai dari jalur kursi roda, toilet khusus, hingga ruang terapi dan alat bantu komunikasi.
3. Kampanye Kesadaran Publik
Pemerintah akan menggandeng tokoh masyarakat, selebriti, dan komunitas orang tua untuk memerangi stigma terhadap ABK. Sekolah adalah rumah semua anak—dan tidak boleh ada anak yang merasa asing di rumahnya sendiri.
Kesimpulan: Inklusi Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban
Tiga tantangan yang diungkapkan Mendikdasmen Abdul Mu’ti—kekurangan guru pendamping, minimnya sekolah inklusi, dan kuatnya stigma sosial—menjadi refleksi bahwa perjuangan pendidikan inklusif belum selesai.
Namun yang lebih penting, pemerintah tidak tinggal diam. Langkah-langkah strategis tengah disiapkan, dengan semangat untuk menyediakan ruang belajar yang adil, manusiawi, dan bermakna bagi setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali.
Karena pendidikan sejatinya bukan hanya tentang angka, kurikulum, atau target nasional. Pendidikan adalah tentang memberi harapan—termasuk kepada mereka yang selama ini berjalan di jalur yang berbeda.