
Jakarta, Mata4.com — Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang secara angka terlihat menjanjikan. Namun di balik data optimistis itu, terselip realitas yang mengkhawatirkan: sektor manufaktur justru lesu, dan dominasi sektor informal terus menanjak. Apakah Indonesia benar-benar tumbuh, atau hanya tampak bertahan di tengah badai?
Angka Pertumbuhan yang Menipu?
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12% (year-on-year). Angka ini lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya dan bahkan melampaui ekspektasi sejumlah analis internasional.
Sekilas, ini terdengar sebagai kabar baik. Tapi sejumlah ekonom mulai bersuara: angka pertumbuhan itu mungkin tak mencerminkan kondisi ekonomi riil. Jika pertumbuhan ekonomi benar-benar menguat, mengapa:
- Penjualan mobil menurun tajam?
- Aktivitas sektor manufaktur terus menyusut?
- Investasi asing langsung (FDI) melambat?
- Ribuan perusahaan melakukan efisiensi, bahkan tutup?
Tak sedikit pengusaha yang kini mengaku tak lagi berpikir untuk ekspansi. Fokus mereka bergeser menjadi: bagaimana bertahan hidup. Banyak yang menekan biaya, memotong tenaga kerja, dan memangkas lini produksi.
“Kami bukan sedang berkembang, kami sedang bertahan,” ujar seorang pengusaha tekstil di Bandung.
Manufaktur: Sang “Jantung Ekonomi” yang Melemah
Manufaktur adalah sektor strategis. Di banyak negara maju, sektor ini menjadi motor penciptaan lapangan kerja, inovasi, dan pertumbuhan produktivitas. Namun, di Indonesia, kondisinya justru merosot.
Data Purchasing Managers’ Index (PMI) April 2025 menunjukkan angka 46,7 — menandakan kontraksi signifikan dan menjadi yang terendah sejak pandemi 2021. Dalam istilah sederhana: aktivitas pabrik-pabrik menyusut.
Tanda-tanda Deindustrialisasi
Krisis ini bukan hanya soal penurunan siklus. Banyak ekonom menilai ini sebagai gejala deindustrialisasi dini: proses ketika sektor manufaktur menyusut sebelum mencapai puncak produktivitasnya.
Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB kini hanya sekitar 18–19%, jauh lebih rendah dibanding dekade 1990-an yang sempat mencapai di atas 25%. Indonesia tampaknya terlalu dini “meninggalkan” sektor industri tanpa menggantinya dengan basis ekonomi yang lebih kokoh.
Ledakan Sektor Informal: Solusi Sementara, Masalah Jangka Panjang
Akibat melemahnya sektor formal, masyarakat terpaksa mencari penghidupan di sektor informal: ojek online, pedagang kaki lima, reseller online, atau buruh harian lepas.
Pada Februari 2025, proporsi tenaga kerja informal mencapai 59,4%, tertinggi dalam satu dekade terakhir. Artinya, 6 dari 10 pekerja di Indonesia tidak memiliki perlindungan sosial, jaminan kerja, atau gaji tetap.
Dominasi sektor informal ini membawa sejumlah risiko:
- Pajak negara berkurang, karena sektor informal sulit dipungut pajaknya.
- Produktivitas stagnan, karena mayoritas pekerjaan bersifat subsisten (sekadar bertahan).
- Ketimpangan meningkat, karena kelompok informal tidak punya akses yang sama terhadap kredit, pelatihan, dan teknologi.
“Informalitas tinggi menandakan ada sesuatu yang salah dalam struktur ekonomi kita,” kata seorang peneliti di LPEM UI.

www.service-ac.id
Kelas Menengah Menyusut: Fondasi Konsumsi Terancam
Kelas menengah adalah pendorong utama konsumsi domestik. Tapi kini, fondasi ini mulai goyah.
Laporan terbaru menunjukkan, porsi kelas menengah Indonesia menyusut dari 23% (2018) menjadi 17% (2024). Banyak keluarga kelas menengah turun kelas akibat kehilangan pekerjaan atau penghasilan tetap.
Dampaknya terasa di sektor ritel dan gaya hidup. Penjualan restoran cepat saji, pakaian bermerek, dan bahkan produk rumah tangga mulai stagnan. Bahkan gerai-gerai seperti Pizza Hut pun mulai menutup beberapa cabangnya karena daya beli masyarakat melemah.
Arah Kebijakan: Perlu Strategi, Bukan Sekadar Angka
Pemerintah memang sudah meluncurkan berbagai program insentif industri dan hilirisasi. Namun, tanpa reformasi struktural—seperti penyederhanaan regulasi, pembenahan ketenagakerjaan, dan investasi di riset & teknologi—upaya itu bisa berakhir setengah jalan.
Beberapa kebijakan yang dibutuhkan:
- Revitalisasi industri manufaktur dengan insentif investasi dan teknologi.
- Peningkatan pelatihan vokasi untuk tenaga kerja agar siap masuk sektor formal.
- Reformasi sektor informal agar pelaku UMKM bisa naik kelas jadi formal.
- Perlindungan kelas menengah dengan insentif pajak, subsidi pendidikan, dan akses perumahan terjangkau.
Kesimpulan: Indonesia Tumbuh, Tapi ke Mana Arah Pertumbuhannya?
Indonesia hari ini mungkin terlihat tumbuh di atas kertas, namun realitasnya lebih kompleks. Ketika sektor industri melemah dan informalitas mendominasi, pertumbuhan itu tidak mencerminkan peningkatan kesejahteraan. Bahkan sebaliknya, bisa menyamarkan persoalan struktural yang akan menjadi bom waktu di masa depan.
Jika ingin keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap), Indonesia harus berhenti hanya mengejar angka dan mulai fokus pada kualitas pertumbuhan.
“Tantangan terbesar kita bukan sekadar tumbuh, tapi tumbuh dengan berkualitas dan berkeadilan.”
— Pengamat Ekonomi UI