
Jakarta, Mata4.com — Praktik penggelembungan anggaran atau mark up kembali menjadi perhatian publik setelah munculnya sejumlah temuan terkait proyek-proyek yang dikelola oleh MBG (Merah Biru Global), sebuah perusahaan rekanan dalam berbagai proyek pengadaan barang dan jasa di sejumlah instansi pemerintahan dan BUMN.
Laporan yang diterima dari berbagai sumber menyebutkan bahwa praktik mark up anggaran di tubuh MBG bukanlah hal baru, namun dalam beberapa tahun terakhir, modusnya semakin rapi dan sulit dideteksi. Proyek-proyek dengan nilai miliaran rupiah tampak membengkak secara tidak wajar, sementara hasil di lapangan jauh dari standar kualitas yang seharusnya.
Modus Lama dengan Pola Baru
Penggelembungan anggaran bukanlah kejahatan baru dalam dunia pengadaan proyek. Namun modus yang dilakukan oleh MBG terbilang lebih canggih. Dalam banyak kasus, mark up dilakukan secara sistematis, mulai dari tahap perencanaan, pemilihan vendor, hingga laporan akhir.
Contohnya, dalam sebuah proyek pengadaan peralatan IT senilai Rp12 miliar, hasil investigasi menunjukkan bahwa harga satuan perangkat yang dicantumkan dalam kontrak hampir dua kali lipat dari harga pasar. Selain itu, ada indikasi penggunaan item dengan spesifikasi lebih rendah dari yang tertera dalam dokumen pengadaan.
Seorang sumber internal MBG yang enggan disebutkan namanya menjelaskan bahwa praktik ini sudah menjadi semacam “rahasia umum” di kalangan manajemen. “Banyak dari kami tahu, tapi tidak berani bicara. Semua tampak legal di atas kertas, padahal jelas ada permainan harga,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa laporan keuangan dan bukti pengadaan kerap dimanipulasi agar terlihat sesuai prosedur, padahal banyak transaksi yang tidak sesuai kenyataan.
Kolusi dengan Pihak Tertentu?
Kuat dugaan bahwa praktik mark up ini melibatkan kerja sama dengan oknum di instansi pemerintah maupun perusahaan mitra. Dokumen lelang yang seharusnya terbuka dan kompetitif diduga sudah diatur sejak awal untuk memenangkan vendor tertentu, termasuk MBG.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Dr. Sinta Rahayu, praktik semacam ini mengindikasikan adanya kolusi yang terorganisir. “Jika mark up terjadi secara konsisten dalam beberapa proyek, besar kemungkinan ada sistem yang mendukung, bukan hanya kesalahan satu atau dua individu,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa lemahnya pengawasan, minimnya pelaporan publik, serta belum maksimalnya implementasi e-procurement di sejumlah instansi membuka celah besar bagi pelaku korupsi anggaran.

www.service-ac.id
Dampak Besar terhadap Anggaran Negara
Praktik penggelembungan anggaran seperti ini bukan sekadar pelanggaran etika atau administratif, tetapi juga merugikan negara dalam jumlah besar. Anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk membiayai proyek lain justru “bocor” di tangan segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk turun tangan mengusut indikasi pelanggaran ini. Beberapa laporan dari LSM bahkan sudah diajukan ke aparat penegak hukum, namun hingga kini belum ada tindak lanjut yang signifikan.
Menurut Ketua Lembaga Pengawas Pengadaan Publik (LP3), Andi Saputra, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk menekan praktik semacam ini. “Selama proses pengadaan masih tertutup dan bisa diatur di belakang layar, praktik mark up akan terus terjadi, bahkan semakin rapi,” ujarnya.
Tuntutan Reformasi dan Pengawasan Ketat
Kasus MBG seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil. Perlu ada reformasi sistem pengadaan yang lebih transparan, digital, dan akuntabel. Selain itu, pengawasan internal harus diperkuat, termasuk melibatkan pihak ketiga atau auditor independen.
Beberapa lembaga pengawas juga mendorong agar seluruh proses pengadaan barang dan jasa menggunakan sistem digital (e-catalogue, e-procurement) yang terintegrasi dan bisa diawasi secara real-time oleh publik.
Hingga berita ini diturunkan, pihak MBG belum memberikan keterangan resmi terkait tudingan mark up anggaran yang mengarah kepada mereka. Permintaan konfirmasi yang diajukan melalui surat elektronik dan telepon juga belum mendapatkan tanggapan.
Sementara itu, masyarakat berharap agar kasus ini tidak berhenti di tengah jalan seperti banyak kasus serupa sebelumnya. Transparansi, penegakan hukum, dan keterlibatan publik menjadi harapan terakhir agar praktik manipulasi anggaran tidak terus merusak sistem dan menyedot uang negara secara diam-diam.