
Jakarta Selatan, Mata4.com – Silfester Matutina, Ketua Umum organisasi relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet), kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, meski telah dijatuhi vonis hukuman penjara selama 1,5 tahun yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), hingga kini ia belum menjalani masa hukuman tersebut. Tidak hanya itu, Silfester juga kembali mangkir dari persidangan Peninjauan Kembali (PK) yang dijadwalkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan alasan sakit. Hal ini memunculkan polemik dan pertanyaan besar: Mengapa hukum tak kunjung ditegakkan?
Vonis Sudah Inkracht, Tapi Eksekusi Mandek
Kasus hukum yang menjerat Silfester Matutina bermula dari laporan pencemaran nama baik yang diajukan oleh pihak mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada tahun 2017, Silfester diduga menyampaikan pernyataan yang mencemarkan nama baik JK dalam sebuah orasi politik.
Perjalanan hukum kasus ini memuncak pada tahun 2019 ketika Mahkamah Agung (MA) memperberat vonisnya dari 8 bulan menjadi 1,5 tahun penjara. Putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), artinya seharusnya tak ada alasan untuk menunda eksekusi hukuman. Namun faktanya, hingga enam tahun berlalu, Silfester Matutina belum pernah ditahan dan menjalani hukuman tersebut.
Polemik semakin membesar ketika pada Agustus 2025, Silfester justru mengajukan permohonan PK, sebuah upaya hukum luar biasa yang sejatinya tidak otomatis menunda pelaksanaan vonis. Hal ini ditegaskan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
“Upaya hukum PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi,” tegas Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, saat dikonfirmasi media.
Namun meskipun Kejaksaan Agung menyatakan tidak ada halangan hukum, pelaksanaan eksekusi belum juga dilakukan. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, yang memiliki kewenangan eksekusi, hingga saat ini belum memberikan penjelasan gamblang mengenai alasan belum dieksekusinya vonis tersebut.
Sidang PK Dihadiri Tanpa Tersangka
Persidangan PK dijadwalkan digelar pada Selasa, 20 Agustus 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, sidang urung dilaksanakan karena Silfester tidak hadir. Pihak kuasa hukum menyampaikan surat keterangan sakit dari sebuah klinik yang menyebut Silfester mengalami “chest pain” dan membutuhkan istirahat selama lima hari.
Ketidakhadiran ini dinilai janggal, mengingat status Silfester sebagai pemohon PK, yang wajib hadir secara langsung dalam persidangan. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 dan ketentuan hukum acara lainnya.
“Dalam persidangan PK, pemohon wajib hadir. Ketidakhadiran tanpa alasan yang sangat kuat dapat dianggap sebagai sikap tidak kooperatif dan menghambat proses hukum,” ujar Ketua Majelis Hakim dalam persidangan yang ditunda tersebut.
Majelis hakim akhirnya memutuskan untuk menunda sidang dan menjadwalkan ulang pada Selasa, 27 Agustus 2025 mendatang. Jika kembali mangkir, bukan tidak mungkin pengadilan akan mengambil langkah hukum tegas.
Komjak Soroti Lambannya Eksekusi
Menanggapi polemik ini, Komisi Kejaksaan (Komjak) angkat bicara. Komjak menilai tidak dilaksanakannya eksekusi vonis terhadap Silfester Matutina adalah bentuk kelalaian yang bisa merusak citra penegakan hukum di Indonesia.
“Ini menjadi preseden buruk. Jika setiap terpidana bisa mengajukan PK dan tidak dieksekusi, maka hukum kehilangan wibawanya,” tegas Komisioner Komjak, Nurokhman.
Komjak menyampaikan keprihatinannya bahwa vonis inkracht selama bertahun-tahun tak kunjung dieksekusi. Mereka bahkan berencana melakukan kunjungan langsung ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk meminta klarifikasi dan mendorong pelaksanaan eksekusi.

www.service-ac.id
Politik dan Hukum: Dua Kutub yang Terlalu Dekat?
Nama Silfester Matutina tidak asing dalam dunia relawan politik. Ia dikenal sebagai pendukung militan Presiden Jokowi dan aktif dalam berbagai kegiatan politik praktis. Situasi ini memunculkan spekulasi bahwa faktor politik turut memperlambat eksekusi hukum.
Walau belum ada bukti langsung mengenai intervensi politik, banyak pihak menilai bahwa keberpihakan dan relasi kuasa menjadi salah satu alasan mengapa kasus ini berjalan tidak sebagaimana mestinya.
“Penundaan eksekusi ini hanya memperkuat persepsi bahwa hukum tidak berlaku sama untuk semua orang. Ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi dan keadilan,” ujar pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Lely Yustisiana.
Rangkuman Kronologi Kasus Silfester Matutina
Tanggal | Peristiwa |
---|---|
2017 | Silfester dilaporkan ke Bareskrim atas dugaan pencemaran nama baik |
2019 | MA perberat hukuman dari 8 bulan menjadi 1,5 tahun penjara (vonis inkracht) |
2019–2025 | Vonis tidak dieksekusi, Silfester tetap bebas |
11 Agustus 2025 | Kejari Jakarta Selatan menerima pemberitahuan sidang PK |
20 Agustus 2025 | Sidang PK ditunda karena Silfester tidak hadir, alasan sakit |
27 Agustus 2025 (jadwal) | Sidang PK dijadwalkan ulang di PN Jakarta Selatan |
Kesimpulan: Penegakan Hukum Perlu Ketegasan
Kasus Silfester Matutina memperlihatkan sebuah ironi dalam sistem peradilan Indonesia: vonis inkracht tidak selalu berarti seseorang harus masuk penjara. Ketidaktegasan aparat penegak hukum, birokrasi eksekusi yang lemah, serta kemungkinan adanya tekanan politik menjadi catatan serius dalam kasus ini.
Masyarakat kini menanti apakah sidang PK pada 27 Agustus 2025 akan dihadiri oleh Silfester, dan apakah setelah itu Kejaksaan akan segera mengeksekusi putusan yang telah lama inkracht. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan terus terkikis.