Jakarta, Mata4.com – Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 28 Agustus 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI menjadi sorotan luas, tidak hanya oleh media dalam negeri, tetapi juga oleh sejumlah media internasional. Ribuan buruh dan elemen masyarakat turun ke jalan membawa tuntutan yang menggambarkan keresahan mendalam terhadap arah kebijakan ekonomi dan sosial pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru menjabat kurang dari setahun.
Media asing seperti Bloomberg, Reuters, hingga The Australian melaporkan aksi ini sebagai bentuk nyata dari meningkatnya ketidakpuasan publik, khususnya kelas pekerja, terhadap isu-isu krusial seperti upah minimum, perlindungan tenaga kerja, serta ketimpangan sosial yang semakin mencolok.
Aksi Massa Serentak di Seluruh Indonesia
Demonstrasi yang dipimpin oleh berbagai konfederasi serikat buruh ini bukanlah aksi terpusat semata. Aksi solidaritas juga berlangsung secara serentak di 38 provinsi lainnya, menjadikannya salah satu mobilisasi buruh terbesar sejak awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Di Jakarta, sekitar 10.000 demonstran memadati kawasan Gedung DPR/MPR, membawa poster-poster bernada kritik tajam terhadap DPR dan pemerintah, serta menyuarakan berbagai tuntutan seperti:
- Kenaikan Upah Minimum 2026 sebesar 10,5%
- Penghapusan sistem outsourcing
- Penghentian praktik PHK sepihak
- Penolakan terhadap tunjangan dan fasilitas berlebihan bagi pejabat
- Desakan reformasi sistem jaminan sosial dan pengawasan ketenagakerjaan
Koordinator aksi menyatakan bahwa buruh merasa pemerintah semakin menjauh dari aspirasi rakyat pekerja, dan DPR dinilai “lebih mewakili kepentingan elit” daripada rakyat.
Reaksi Media Internasional: Cermin Kekhawatiran Global
Bloomberg: “Prabowo Faces Growing Labor Discontent”
Bloomberg menyoroti bahwa gelombang demonstrasi ini merupakan tanda awal dari potensi gejolak sosial di tengah target ambisius pemerintahan Prabowo. Disebutkan bahwa tekanan dari kelompok buruh bisa menjadi batu sandungan dalam upaya pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi 8% dan menarik investasi besar-besaran, apalagi jika stabilitas sosial terganggu.
Reuters: “Students and Workers Join Forces”
Reuters menyoroti bahwa tidak hanya buruh yang turun ke jalan, namun juga mahasiswa dan aktivis masyarakat sipil, menciptakan aliansi lintas sektor. Salah satu pemicunya adalah insiden tragis pada aksi sebelumnya, 25 Agustus, ketika seorang demonstran tewas setelah ditabrak kendaraan milik aparat. Insiden ini menambah emosi massa dan memperkuat solidaritas publik.
The Australian: “Indonesian Protesters Slam Parliament Benefits”
Sementara itu, The Australian lebih fokus pada kecaman publik terhadap DPR, terutama setelah munculnya kabar bahwa anggota legislatif akan menerima tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan, di tengah kondisi ekonomi yang masih berat bagi rakyat. Perbandingan dengan upah minimum yang hanya sekitar Rp 5 juta membuat kemarahan publik memuncak.

www.service-ac.id
Faktor Pemicu Ketidakpuasan
Akar ketidakpuasan publik sebenarnya telah terbangun sejak beberapa bulan terakhir. Beberapa isu utama yang menjadi titik api adalah:
1. Ketimpangan Ekonomi
Program-program ambisius seperti makanan bergizi gratis di sekolah, meskipun bertujuan baik, dinilai banyak pihak terlalu mahal dan kurang tepat sasaran dalam jangka pendek. Pemerintah dituding lebih fokus pada program populis yang bersifat simbolik, bukan pada pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat seperti kenaikan upah, perbaikan layanan publik, atau ketersediaan lapangan kerja layak.
2. Kebijakan Elit yang Tidak Peka
Kabar tentang kenaikan tunjangan DPR muncul saat publik masih berjibaku dengan kenaikan harga bahan pokok dan biaya hidup. Banyak yang melihatnya sebagai bentuk ketidakpekaan legislatif terhadap penderitaan rakyat. Ini menjadi pemicu psikologis yang kuat bagi massa untuk turun ke jalan.
3. Kebebasan Sipil dan Kekerasan Aparat
Insiden kekerasan terhadap demonstran, termasuk kematian seorang mahasiswa, membuat banyak pihak khawatir bahwa ruang demokrasi semakin menyempit. Media internasional menyoroti bahwa kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan aspirasi secara damai kini berada dalam ancaman.
Reaksi Pemerintah dan DPR
Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan buruh secara spesifik. Beberapa anggota DPR justru mengkritik demonstrasi tersebut sebagai bentuk tekanan politik yang berlebihan. Hal ini tentu saja memperkuat kesan bahwa elit politik masih abai terhadap aspirasi masyarakat bawah.
Namun, sejumlah tokoh masyarakat sipil dan akademisi menyerukan agar pemerintah segera membuka ruang dialog dengan serikat buruh dan perwakilan mahasiswa untuk meredakan ketegangan serta mencari solusi jangka panjang.
Analisis: Awal dari Gelombang Protes yang Lebih Besar?
Pengamat politik menilai bahwa demonstrasi 28 Agustus bisa menjadi awal dari rangkaian unjuk rasa yang lebih luas jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret. Dengan semakin banyaknya elemen masyarakat yang merasa tidak terwakili, gerakan ini berpotensi berkembang menjadi gerakan sosial nasional seperti yang pernah terjadi pada era reformasi.
Selain itu, pengaruh media internasional yang semakin menyoroti ketegangan sosial di Indonesia dapat berdampak pada persepsi investor global dan posisi diplomatik pemerintah di mata dunia.
Penutup
Demonstrasi besar 28 Agustus 2025 bukan sekadar protes rutin, tetapi merupakan refleksi dari krisis kepercayaan yang makin dalam antara rakyat dan elit penguasa. Tuntutan yang dilayangkan—kenaikan upah, keadilan sosial, dan pemerintahan yang lebih berpihak pada rakyat—menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam jika ketimpangan terus dibiarkan.
Pemerintah dan DPR perlu mendengar, bukan mengabaikan. Sebab, dalam demokrasi, suara rakyat bukan ancaman—melainkan peringatan.
