Bekasi, Mata4.com — Hidup tanpa kewarganegaraan merupakan kenyataan pahit yang dialami seorang perempuan yang kini menetap di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Ia harus menjalani kehidupan yang tidak pasti setelah diduga tidak diakui sebagai warga negara oleh dua negara sekaligus: Indonesia dan Malaysia.
Perempuan berusia sekitar 38 tahun itu mengaku lahir di wilayah perbatasan Kalimantan, dari pasangan yang berbeda kewarganegaraan. Sang ibu berasal dari Indonesia, sementara ayahnya merupakan warga negara Malaysia. Namun, karena pernikahan kedua orang tuanya tidak tercatat secara resmi dan proses administrasi kelahirannya tidak pernah ditindaklanjuti, ia tumbuh tanpa akta kelahiran, tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan tanpa paspor dari negara manapun.
“Saya tidak pernah punya KTP, tidak punya akta lahir. Mau sekolah, kerja, bahkan berobat pun sulit. Rasanya seperti saya tidak ada di mata hukum,” ujarnya saat ditemui di salah satu tempat penampungan sementara di Bekasi. Ia meminta agar namanya dan lokasi lengkap tidak disebutkan demi menjaga privasinya.
Tak Bisa Akses Layanan Dasar
Ketiadaan dokumen identitas membuat hidupnya terhambat di hampir semua aspek. Ia tidak bisa mengakses layanan kesehatan, pendidikan formal, pekerjaan legal, bahkan tidak bisa mengurus pernikahan secara hukum. Dalam kondisi seperti ini, ia juga rentan menjadi korban eksploitasi karena tidak memiliki perlindungan hukum yang layak.
“Saya pernah ditolak rumah sakit karena tidak bisa menunjukkan kartu identitas. Padahal saya butuh pertolongan medis waktu itu,” ungkapnya.
Selama bertahun-tahun, ia hanya bisa bekerja sebagai buruh serabutan dan berpindah-pindah tempat tinggal. Ia sempat tinggal di Kalimantan, lalu berpindah ke Sumatera, dan kini menetap sementara di Bekasi dengan bantuan komunitas sosial yang peduli terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan.
Kasus Stateless Masih Terjadi di Indonesia
Fenomena orang tanpa kewarganegaraan (stateless person) masih menjadi persoalan yang luput dari perhatian publik. Menurut data dari beberapa organisasi internasional seperti UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), terdapat ribuan orang di kawasan Asia Tenggara yang hidup tanpa status kewarganegaraan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Kemanusiaan, Rani Aulia, menyebut bahwa statelessness umumnya terjadi karena kurangnya pencatatan sipil, kelahiran di luar nikah tanpa dokumentasi, serta pernikahan lintas negara yang tidak tercatat resmi.
“Mereka yang tidak memiliki dokumen resmi sering kali menjadi korban pengabaian administratif. Negara perlu hadir dan menjamin bahwa setiap individu memiliki hak untuk diakui secara hukum,” ujarnya kepada media.
LBH Kemanusiaan saat ini tengah melakukan pendampingan hukum untuk membantu perempuan tersebut mendapatkan pengakuan kewarganegaraan. Proses ini melibatkan pengumpulan dokumen, wawancara saksi, serta koordinasi dengan instansi pemerintah pusat dan daerah.
Proses Hukum dan Harapan
Proses pengajuan status kewarganegaraan tidaklah mudah. Banyak syarat administrasi yang tidak dapat dipenuhi oleh mereka yang sudah sejak lahir tidak memiliki dokumen. Namun, menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, pemerintah memiliki kewenangan untuk memberikan kewarganegaraan kepada orang-orang dalam kondisi tertentu, termasuk yang tidak memiliki status kewarganegaraan dari negara mana pun.
“Kami sedang mengajukan permohonan melalui jalur naturalisasi. Meski prosesnya panjang, kami tetap berusaha agar klien kami bisa hidup secara layak dan memiliki hak sebagai warga negara,” tambah Rani.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia belum memberikan tanggapan resmi terkait kasus ini. Pihak Imigrasi juga belum mengonfirmasi apakah perempuan tersebut tercatat dalam sistem administrasi kewarganegaraan Indonesia. Upaya konfirmasi kepada perwakilan Pemerintah Malaysia juga masih berlangsung hingga berita ini diturunkan.
Perlindungan Negara dan Tanggung Jawab Bersama
Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Dr. Wahyudi Ramadhan, menilai bahwa kasus seperti ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Ia menekankan bahwa negara berkewajiban menjamin hak identitas dan status hukum setiap warga, terlebih jika individu tersebut lahir di wilayah yurisdiksi Indonesia.
“Status kewarganegaraan bukan sekadar formalitas. Itu menyangkut hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial seseorang. Negara harus bertindak proaktif, bukan reaktif,” katanya.
Isu ini juga menjadi cermin bagi kebijakan pemerintah dalam menjangkau kelompok marginal, terutama di daerah perbatasan. Diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga sosial untuk memastikan bahwa tidak ada individu yang kehilangan hak dasarnya hanya karena dokumen yang tidak lengkap.
Harapan Akan Hidup yang Layak
Perempuan yang kini menjalani hidup dalam keterbatasan itu tetap berharap suatu hari dirinya bisa mendapatkan status kewarganegaraan yang sah. Ia ingin bisa bekerja dengan layak, membangun keluarga, dan hidup seperti warga negara pada umumnya.
“Saya hanya ingin hidup normal. Punya KTP, bisa kerja, bisa nikah, dan tidak takut kalau ada pemeriksaan,” ujarnya dengan suara pelan.
Hingga kini, ia masih bergantung pada bantuan komunitas dan para relawan yang berjuang agar suaranya terdengar oleh negara.

