Jakarta, Mata4.com — Organisasi Perlindungan Psikologi Indonesia (PPI) kembali mengingatkan perlunya perhatian serius terhadap kesehatan mental siswa di lingkungan pendidikan. Dalam diskusi publik yang digelar PPI pada awal Oktober 2025, berbagai persoalan yang berpotensi menimbulkan trauma psikis pada siswa menjadi sorotan utama.
Ketua PPI, Dr. Sari Widjaja, menjelaskan bahwa meski pendidikan seharusnya menjadi media pengembangan diri dan intelektualitas, kenyataan di lapangan masih menunjukkan bahwa banyak siswa menghadapi tekanan mental yang berat. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari metode pengajaran yang menekan, sistem penilaian yang kaku, hingga kasus bullying yang masih marak di sekolah-sekolah.
“Sistem pendidikan kita harus diakui masih kurang memperhatikan aspek psikologis siswa. Kami melihat banyak siswa yang mengalami tekanan kronis, hingga dampak jangka panjang berupa trauma psikis,” jelas Dr. Sari dalam forum tersebut.
Tekanan Akademik yang Membebani Mental Siswa
Tekanan akademik disebut sebagai salah satu penyebab utama trauma psikis yang dialami siswa. Dalam sistem yang mengutamakan nilai dan ranking, banyak siswa merasa tertekan untuk selalu berprestasi. Beban tugas, ujian, dan target yang tinggi sering kali melebihi kapasitas mereka.
Menurut data survei yang pernah dilakukan PPI, sekitar 40 persen siswa melaporkan mengalami stres berat akibat beban akademik yang dirasakan tidak realistis. Stres berkepanjangan ini dapat berujung pada gangguan kecemasan, kehilangan motivasi belajar, dan bahkan depresi.
“Beban akademik yang tidak proporsional membuat anak-anak kehilangan semangat belajar dan justru mengakibatkan efek negatif bagi perkembangan mental mereka,” tambah Dr. Sari.
Bullying Masih Menjadi Masalah Serius
Selain tekanan akademik, perundungan atau bullying juga menjadi faktor penyebab trauma psikis. Kasus bullying baik secara verbal, fisik, maupun psikologis masih sering terjadi di lingkungan sekolah, bahkan kadang sulit terdeteksi.
PPI mencatat bahwa bullying yang berkepanjangan dapat menimbulkan efek traumatis, termasuk gangguan kecemasan, perasaan rendah diri, hingga gangguan stres pasca trauma (PTSD). Sayangnya, penanganan kasus bullying di beberapa sekolah masih minim dan belum memadai.
“Bullying bukan hanya masalah disiplin, tetapi sudah menjadi isu kesehatan mental yang harus segera ditangani secara serius oleh sekolah dan orang tua,” tegas Dr. Sari.
Kurangnya Dukungan Psikologis di Sekolah
Salah satu tantangan terbesar adalah minimnya akses siswa terhadap layanan kesehatan mental. Banyak sekolah yang belum memiliki tenaga konselor atau psikolog yang memadai. Bahkan, sebagian guru belum mendapat pelatihan untuk mengenali tanda-tanda gangguan psikologis pada siswa.
PPI mendorong agar pemerintah memperbanyak penyediaan layanan konseling profesional di setiap sekolah, serta memberikan pelatihan kepada guru agar dapat menjadi garda terdepan dalam mendeteksi dan menangani masalah psikologis siswa.
Sistem Penilaian yang Kaku dan Tidak Fleksibel
Sistem penilaian yang mengedepankan nilai angka sebagai ukuran utama keberhasilan siswa juga menjadi perhatian PPI. Penilaian yang kaku dan kurang memperhatikan variasi kemampuan dan kondisi mental siswa membuat banyak anak merasa gagal dan tertekan.
PPI mengusulkan agar sistem penilaian dikembangkan lebih fleksibel, tidak hanya mengandalkan ujian tertulis, tapi juga menilai perkembangan sikap, kreativitas, dan aspek non-akademik lainnya yang lebih holistik.
Lingkungan Sekolah yang Kurang Mendukung Ekspresi Diri
Selain itu, budaya sekolah yang kurang inklusif dan kurang memberikan ruang bagi siswa mengekspresikan diri secara sehat juga menjadi faktor penyebab trauma psikis. Lingkungan yang terlalu kompetitif tanpa dukungan sosial yang memadai membuat siswa merasa terisolasi dan tidak diterima.
PPI mengajak sekolah untuk menciptakan budaya yang ramah, suportif, dan menerima keberagaman, sehingga siswa dapat berkembang dengan baik secara emosional dan sosial.
Seruan Reformasi dan Tanggung Jawab Bersama
Dalam diskusi tersebut, PPI menekankan pentingnya reformasi sistem pendidikan agar lebih memperhatikan aspek kesehatan mental siswa. Langkah-langkah konkret yang disarankan meliputi:
- Pelatihan guru tentang kesehatan mental dan pendekatan humanis dalam pengajaran.
- Penerapan program anti-bullying yang efektif dan terintegrasi di seluruh sekolah.
- Peningkatan layanan konseling dan psikologi di lingkungan sekolah dengan tenaga profesional yang memadai.
- Pengembangan sistem penilaian yang lebih holistik dan fleksibel, serta mengurangi tekanan akademik berlebih.
- Membangun budaya sekolah yang inklusif dan suportif, membuka ruang bagi siswa berekspresi.
Respon Pemerintah dan Realisasi Kebijakan
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mulai memasukkan aspek kesehatan mental dalam kebijakan dan kurikulum pendidikan nasional. Beberapa sekolah juga sudah menginisiasi program konseling dan pelatihan guru.
Namun, PPI mengingatkan bahwa pelaksanaan dan pengawasan program-program ini harus ditingkatkan agar bisa menjangkau seluruh wilayah, khususnya di daerah-daerah yang selama ini minim akses layanan kesehatan mental.
Pentingnya Peran Orang Tua dan Komunitas
Selain sekolah dan pemerintah, PPI juga mengajak orang tua dan komunitas untuk berperan aktif dalam menjaga kesehatan mental anak. Komunikasi terbuka, perhatian pada perubahan perilaku, dan dukungan emosional di rumah sangat penting untuk mengantisipasi munculnya masalah psikologis pada anak.
Kesimpulan
PPI menegaskan kembali bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga harus memperhatikan tumbuh kembang psikologis siswa secara menyeluruh. Trauma psikis akibat tekanan di dunia pendidikan harus menjadi perhatian bersama agar generasi muda dapat tumbuh sehat, bahagia, dan siap menghadapi masa depan.

