Jakarta, Mata4.com — Inovasi teknologi dalam dunia kesehatan kembali hadir dengan potensi besar dalam upaya pencegahan penyakit tidak menular, khususnya diabetes mellitus. Sebuah alat bernama Glycemia Breath Analyzer tengah dikembangkan untuk mendeteksi potensi gangguan kadar gula darah hanya melalui analisis napas pasien, tanpa memerlukan pengambilan darah.
Teknologi ini disebut-sebut sebagai terobosan di bidang diagnostik non-invasif, yang diharapkan dapat mempercepat deteksi dini diabetes secara lebih praktis dan nyaman, baik di fasilitas kesehatan maupun dalam skala skrining massal.
Teknologi Deteksi Melalui Napas: Bagaimana Cara Kerjanya?
Glycemia Breath Analyzer bekerja dengan menganalisis senyawa organik volatil (volatile organic compounds/VOCs) yang terkandung dalam napas manusia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kadar gula darah tinggi cenderung mengeluarkan senyawa seperti aseton dalam jumlah lebih tinggi, yang dapat diukur menggunakan sensor kimia khusus.
Sensor pada alat ini akan mendeteksi dan mengukur konsentrasi senyawa tersebut secara real-time. Jika kadar senyawa tertentu melebihi ambang batas yang telah ditentukan, hasilnya bisa menjadi indikasi awal potensi gangguan metabolisme glukosa.
“Tujuannya bukan menggantikan metode laboratorium, tapi menjadi alat bantu deteksi dini yang cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit bagi pasien,” jelas salah satu pengembang teknologi yang enggan disebutkan namanya karena proses paten dan uji validasi masih berlangsung.
Alternatif dari Metode Konvensional
Saat ini, metode utama untuk mengetahui kadar gula darah adalah dengan mengambil sampel darah, baik melalui tes glukosa sewaktu (GDS), glukosa puasa (GDP), atau tes HbA1c. Proses ini, meski efektif, seringkali dianggap merepotkan atau bahkan menyakitkan bagi sebagian pasien, terutama anak-anak dan lansia.
Glycemia Breath Analyzer hadir sebagai opsi non-invasif yang tidak memerlukan alat tusuk jarum (lanset) atau strip pengukur. Pengguna cukup menghembuskan napas ke alat selama beberapa detik, dan hasil awal dapat langsung dilihat.
Teknologi ini juga diproyeksikan untuk digunakan dalam monitoring berkala bagi penderita pradiabetes, pasien diabetes yang ingin mengontrol stabilitas gula darah secara rutin, atau untuk kebutuhan edukasi kesehatan di masyarakat.
Masih dalam Tahap Uji Klinis
Meskipun potensinya besar, hingga saat ini Glycemia Breath Analyzer masih dalam tahap uji coba klinis terbatas di beberapa pusat penelitian dan rumah sakit. Para peneliti masih menguji tingkat akurasi, konsistensi hasil, dan sensitivitas alat terhadap variasi kondisi metabolik pasien.
Pihak pengembang menyatakan bahwa mereka akan mengajukan izin edar ke instansi terkait seperti Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, BPOM, dan Kementerian Riset dan Teknologi, setelah seluruh tahapan uji tuntas.
“Kami tidak ingin terburu-buru. Proses validasi dan dukungan ilmiah harus kuat agar alat ini benar-benar aman digunakan masyarakat,” tambah sang peneliti.
Respons Tenaga Medis: Menarik Tapi Perlu Bukti Klinis
Beberapa kalangan medis menyambut baik ide dasar dari teknologi ini, terutama karena sifatnya yang tidak menyakitkan dan bisa digunakan di berbagai lokasi. Namun, sejumlah dokter juga mengingatkan agar tidak menyimpulkan hasil secara gegabah sebelum alat tersebut teruji secara luas.
“Deteksi lewat napas itu menarik dan bisa jadi alat bantu edukasi, tapi bukan pengganti diagnosis klinis. Harus ada panduan medis yang jelas,” kata dr. Maya Lestari, SpPD, dokter spesialis penyakit dalam di Jakarta.
Menurutnya, validasi ilmiah dan standar klinis tetap menjadi kunci utama sebelum alat kesehatan baru digunakan secara luas. “Harus diuji di populasi yang besar, termasuk yang punya komplikasi atau penyakit penyerta,” tambahnya.
Menjawab Kebutuhan Skrining di Komunitas
Apabila lolos uji dan disetujui regulator, Glycemia Breath Analyzer bisa menjadi alat strategis untuk digunakan di puskesmas, posyandu, sekolah, tempat kerja, hingga daerah terpencil yang memiliki keterbatasan fasilitas laboratorium.
Teknologi ini juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan literasi kesehatan masyarakat dan memperluas akses terhadap deteksi dini penyakit tidak menular (PTM), khususnya diabetes yang saat ini menjadi salah satu penyakit dengan prevalensi tertinggi di Indonesia.
Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa sekitar 1 dari 10 orang dewasa di Indonesia menderita diabetes, dan sebagian besar tidak menyadarinya hingga penyakit mencapai tahap serius atau menimbulkan komplikasi.
Harapan untuk Masa Depan
Dengan kemajuan teknologi seperti Glycemia Breath Analyzer, para peneliti dan pegiat kesehatan berharap bahwa sistem pelayanan kesehatan Indonesia dapat lebih cepat dalam mendeteksi dan menangani risiko penyakit, terutama yang bersifat kronis.
“Pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan. Alat ini semoga bisa mendukung langkah promotif dan preventif yang lebih luas,” ujar dr. Lilis Anggraini, dokter umum yang aktif dalam edukasi kesehatan komunitas.

