Gaza, Mata4.com — Ketika suara bom dan roket menjadi latar kehidupan sehari-hari, ketika rumah berubah menjadi puing, dan sekolah menjadi tempat pengungsian, para perempuan di Jalur Gaza tetap berdiri. Di antara mereka, ada sosok seperti Dr. Amina Hassan (nama disamarkan), seorang dokter sekaligus ibu dari dua anak, yang terus menjaga harapan di tengah kehancuran.
Sudah lebih dari satu dekade Dr. Amina menjalani profesinya di Gaza. Tapi sejak eskalasi terbaru pecah beberapa bulan lalu, rutinitas yang dulu sederhana kini berubah menjadi perjuangan hidup dan mati—bukan hanya untuk pasiennya, tapi juga untuk keluarganya sendiri.
“Setiap kali saya keluar rumah, saya tidak tahu apakah saya akan kembali,” ucapnya dengan nada tenang namun penuh beban, dalam wawancara yang dilakukan secara tertutup demi menjaga keamanannya.
Rumah Sakit yang Tak Lagi Aman
Dr. Amina bekerja di salah satu rumah sakit terbesar di Gaza. Fasilitas itu kini dipenuhi korban serangan udara—mulai dari anak-anak dengan luka bakar, hingga lansia yang tertimpa reruntuhan rumah. Lorong rumah sakit berubah jadi tempat perawatan darurat. Listrik padam berulang kali. Generator rusak karena kelebihan beban. Persediaan alat medis dan obat-obatan mulai habis.
“Kami bahkan harus memilih pasien mana yang lebih mungkin bertahan, karena tak ada cukup sumber daya untuk semua,” katanya.
Situasi ini, menurut organisasi kemanusiaan internasional seperti Médecins Sans Frontières (MSF) dan Palang Merah Internasional, merupakan krisis medis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Gaza. Sistem kesehatan di ambang runtuh, dan para tenaga medis menghadapi tekanan luar biasa.
Ibu di Tengah Perang
Di luar perannya sebagai dokter, Amina adalah ibu dari dua anak laki-laki yang masih duduk di sekolah dasar. Sejak konflik meletus, sekolah mereka tutup. Mereka kini belajar di rumah, jika listrik tersedia, atau mendengarkan cerita dari ibunya tentang dunia di luar Gaza yang belum pernah mereka lihat.
“Mereka pernah bertanya kenapa dunia membiarkan kami hidup seperti ini,” ujarnya lirih. “Saya tidak punya jawaban, selain meminta mereka tetap percaya bahwa ini akan berlalu.”
Untuk menjaga anak-anaknya merasa aman, Amina menyembunyikan ketakutannya. Ia bercerita tentang masa kecilnya yang juga dilalui dalam bayang-bayang perang, tapi selalu menekankan satu hal: harapan.
“Saya tidak bisa menjanjikan kedamaian, tapi saya bisa menunjukkan pada mereka bahwa ibunya tidak menyerah.”
Perempuan sebagai Garda Terdepan
Perempuan di Gaza tidak hanya menjaga rumah tangga. Mereka juga menjadi guru, relawan, perawat, dan pekerja sosial—seringkali dalam situasi yang tak manusiawi. Banyak dari mereka kehilangan suami, ayah, atau saudara laki-laki karena perang. Beban bertambah, tetapi tanggung jawab tetap dijalankan.
Menurut laporan UN Women, lebih dari 70% perempuan Gaza saat ini berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Di pengungsian, mereka juga yang mendistribusikan makanan, merawat lansia, mengurus anak-anak, hingga membentuk kelompok pendukung trauma sesama penyintas.
Dilema Etika dan Keselamatan
Salah satu tantangan terbesar bagi jurnalis dan media yang meliput konflik di Gaza adalah menjaga etika dalam pelaporan: tidak menyudutkan pihak sipil, tidak menyebarkan informasi yang membahayakan, dan tidak mengangkat kisah dengan cara yang memanfaatkan penderitaan.
Dalam kasus Dr. Amina, redaksi memutuskan menyamarkan identitas, lokasi rumah sakit, dan nama anak-anaknya demi menjaga keselamatan pribadi dan keluarganya. Informasi diperoleh melalui wawancara tertutup dan didukung oleh sumber kredibel dari organisasi medis internasional.
Memilih Bertahan, Bukan Menyerah
Meski dunia luar tampak tak banyak berubah, Amina tetap memilih bertahan. Ia percaya bahwa yang dia lakukan—menyembuhkan, merawat, mendidik anak-anaknya—adalah bentuk nyata perlawanan terhadap kehancuran.
“Mereka bisa hancurkan gedung, jalan, bahkan rumah sakit. Tapi mereka tidak bisa menghancurkan semangat kami untuk tetap hidup dan saling menjaga,” ujarnya.
Ketika ditanya apa harapannya, ia hanya menjawab singkat:
“Agar anak-anak saya suatu hari bisa hidup tanpa takut. Itu saja.”

