Bekasi, Mata4.com – Mantan Vice President Supply and Distribution PT Pertamina (Persero) periode 2011–2015, Alfian Nasution, menegaskan bahwa Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) milik PT Orbit Terminal Merak (OTM) memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Pernyataan itu disampaikan Alfian saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (21/10/2025).
OTM Punya Peran Vital Distribusi Energi
Dalam persidangan, terdakwa beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Kerry Adrianto Riza, sempat mempertanyakan dampak nasional jika Terminal OTM berhenti beroperasi.
“Apabila terminal OTM besok berhenti operasi, apa yang akan terjadi kepada ketahanan energi nasional?” tanya Kerry kepada Alfian di ruang sidang.
Menanggapi hal itu, Alfian menyebut penghentian operasional OTM akan memberikan dampak signifikan pada rantai distribusi energi nasional.
“Tentunya akan terganggu, karena kapasitasnya mencapai 288.000 kiloliter dan itu cukup besar. Beberapa daerah akan terdampak,” kata Alfian.
Ia menegaskan bahwa Terminal OTM telah menjadi bagian dari skema distribusi nasional Pertamina, termasuk dalam penyaluran BBM hasil impor.
Gangguan pada terminal tersebut akan menimbulkan biaya tambahan karena suplai harus dialihkan ke fasilitas lain.
“Akan ada tambahan biaya karena harus mengalihkan suplai yang selama ini menggunakan fasilitas Terminal Merak,” ujarnya.
Kajian Surveyor: Potensi Rugi Rp150 Miliar per Tahun
Menurut Alfian, hasil kajian Surveyor Indonesia memperkirakan pengalihan suplai akibat penutupan OTM akan menimbulkan kebutuhan lima kapal tambahan untuk menjaga pasokan.
“Ada simulasi yang menunjukkan, kalau terminal itu berhenti beroperasi, dibutuhkan tambahan sekitar lima kapal,” ungkap Alfian.
Kajian itu juga memperkirakan beban logistik tambahan mencapai Rp150 miliar per tahun, hanya dari biaya kapal.
“Kalau dirupiahkan, tentu akan signifikan. Sekitar Rp150 miliar per tahun dari biaya kapal saja,” tambahnya.

Kuasa Hukum: Tidak Ada Intervensi dari Pihak Luar
Usai sidang, kuasa hukum terdakwa Kerry, Lingga Nugraha, menyatakan bahwa kesaksian Alfian dan saksi lainnya — termasuk Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya Huktyanta — membantah dakwaan jaksa.
“Kesaksian mereka menunjukkan Pertamina memang membutuhkan tambahan kapasitas penimbunan BBM sebesar 400.000 kiloliter per tahun. Itu sudah direncanakan sejak 2012 dalam RJPP dan RKAP 2013–2014,” kata Lingga.
Ia juga menepis dugaan keterlibatan Riza Chalid dalam kebijakan penyewaan Terminal BBM Merak.
“Bicara intervensi, intervensi seperti apa? Dari kesaksian Alfian, tidak ada bentuk intervensi yang nyata,” tegasnya.
Kasus Dugaan Korupsi Rp285 Triliun
Dalam perkara ini, Muhammad Kerry Adrianto Riza didakwa memperkaya diri melalui sejumlah perusahaan, termasuk PT Orbit Terminal Merak (OTM) dan PT Jenggala Maritim Nusantara (JMN).
Baca Juga:
tni tewaskan panglima opm lamek taplo
Ia bersama ayahnya, Mohammad Riza Chalid, diduga mengintervensi PT Patra Niaga agar menyewa Terminal BBM Merak, sehingga meraup keuntungan hingga Rp2,9 triliun.
Sebagian dana sebesar Rp176,3 miliar disebut digunakan untuk perjalanan golf ke Thailand bersama sejumlah pejabat Pertamina.
Selain itu, Kerry juga didakwa mengondisikan pengadaan sewa tiga kapal milik PT JMN di lingkungan Pertamina International Shipping (PIS), dengan keuntungan mencapai Rp164,7 miliar.
Secara total, nilai dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018–2023 mencapai Rp285,95 triliun, terdiri dari:
- Kerugian keuangan negara: Rp70,67 triliun
- Kerugian perekonomian negara: Rp171,99 triliun
- Keuntungan ilegal: Rp43,27 triliun
Dalam persidangan yang sama, Kerry memohon agar dipindahkan dari Rutan Kejari Jakarta Selatan ke Rutan Salemba, Jakarta Pusat, dengan alasan mengalami pneumonia dan alergi.
