Jakarta, 1 Juli 2025 – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah pemerintah Iran secara resmi menyetujui rancangan undang-undang yang memungkinkan penutupan Selat Hormuz, jalur laut strategis yang menjadi penghubung utama ekspor minyak dunia. Langkah ini disebut sebagai bentuk respons terhadap situasi konflik Israel-Iran yang belum mereda serta tekanan global terhadap Iran.
Bagi Indonesia, langkah ini bukan sekadar isu luar negeri. Menteri Luar Negeri RI menyatakan bahwa lebih dari 20 persen impor minyak Indonesia melalui Selat Hormuz, menjadikannya salah satu jalur vital bagi keamanan energi nasional.
Selat Hormuz: Jalur Minyak Paling Strategis Dunia
Selat Hormuz membentang di antara Teluk Persia dan Teluk Oman, dengan lebar sempit hanya sekitar 50 km. Namun, jalur ini menjadi tempat sekitar 20 juta barel minyak mentah per hari melintas — hampir 1/5 dari total perdagangan minyak global.
Negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Iran mengandalkan jalur ini untuk mengekspor minyak mentah, LNG, dan produk energi lainnya. Jika ditutup, maka dampaknya akan langsung terasa secara global, termasuk di Indonesia.
Dampak Langsung bagi Indonesia
- Ketersediaan BBM dan LPG Bisa Terganggu
Indonesia masih mengimpor sebagian besar minyak mentah dan produk olahan BBM, terutama dari negara-negara Timur Tengah. Jika Selat Hormuz ditutup:
Proses pengiriman minyak bisa tertunda atau teralihkan ke jalur lebih panjang.
Risiko kelangkaan BBM meningkat, terutama untuk jenis non-subsidi seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan LPG non-subsidi.
Ketahanan energi nasional berada dalam tekanan besar.
- Harga Minyak Dunia Meroket, BBM Domestik Ikut Naik
Sejak ketegangan meningkat, harga minyak dunia melonjak hingga menyentuh US$ 79–85 per barel, dan dikhawatirkan bisa menembus US$ 100–120 per barel jika konflik bereskalasi.
Dampak ke dalam negeri:
Harga BBM non-subsidi bisa naik drastis.
Harga barang dan logistik terdampak, memicu inflasi.
Daya beli masyarakat, terutama di daerah seperti Jawa Barat, bisa tergerus.
- Subsidi Energi Bisa Membengkak
Pemerintah menanggung subsidi besar untuk Pertalite dan Solar. Jika harga minyak naik:
Beban subsidi energi membengkak hingga triliunan rupiah.
APBN terancam defisit lebih besar.
Pemerintah bisa terpaksa menaikkan harga atau membatasi kuota BBM subsidi.
Respons Pemerintah Indonesia
Menanggapi ancaman ini, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dan ESDM mengambil sejumlah langkah strategis:
Pemantauan Situasi Geopolitik
Pemerintah secara aktif mengikuti perkembangan di Timur Tengah dan mendorong diplomasi internasional untuk meredakan ketegangan, terutama melalui PBB dan OKI.
Diversifikasi Sumber Impor Energi
Pemerintah mempercepat rencana diversifikasi impor minyak, termasuk dari Afrika Barat, Rusia, dan Amerika Selatan, agar tidak terlalu bergantung pada kawasan Teluk Persia.
Peningkatan Cadangan Minyak Nasional
Pertamina diminta menambah stok cadangan operasional dan strategis, agar pasokan tetap aman minimal untuk 20–30 hari ke depan jika pasokan terganggu.
Percepatan Hilirisasi dan Energi Terbarukan
Sebagai solusi jangka panjang, program hilirisasi migas, refinery upgrade, serta pengembangan bioenergi dan listrik berbasis EBT terus digenjot untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.
Imbas ke Masyarakat: Apa yang Harus Diantisipasi?
Masyarakat Indonesia, khususnya pelaku usaha dan pengguna BBM non-subsidi, perlu bersiap menghadapi:
Kenaikan harga BBM dalam waktu dekat, terutama jenis nonsubsidi seperti Pertamax Series dan Dex.
Lonjakan biaya logistik untuk distribusi barang, termasuk pangan dan bahan pokok.
Peningkatan biaya produksi di sektor industri, manufaktur, dan transportasi.
Potensi pengurangan kuota BBM subsidi, jika beban anggaran negara terlalu berat.
