Bekasi, Mata4.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyoroti rencana pembebanan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, tanggung jawab finansial proyek seharusnya menjadi kewajiban badan usaha Danantara, bukan dibebankan ke negara.
“Duduk soalnya kan begini ya. Whoosh ini awalnya business to business. Setelah itu diambil alih oleh pemerintah, government. Maka kemudian segala risiko, saham kita 60 persen, 40 persen China. Dari sisi modal dan risiko utangnya, memang wajar saja menjadi kewajiban Danantara,”
jelas Said, Selasa (4/11/2025) di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Latar Belakang Proyek Whoosh
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC/Whoosh) awalnya merupakan kerjasama bisnis antara swasta dan investor asing. Dalam perkembangan terakhir, pemerintah memegang saham mayoritas 60 persen, sementara pihak China memegang 40 persen.
Said menegaskan bahwa saat ini, Danantara sebagai BUMN yang berdiri sendiri, memiliki tanggung jawab korporasi untuk menyelesaikan seluruh kewajiban proyek, termasuk liabilitas dan utang.

“Dia berdiri sendiri Danantara. Dari federnya masuk ke Danantara. Sesungguhnya make sense saja, wajar saja. Menjadi kewajiban Danantara untuk menyelesaikan seluruh proses yang terjadi di KCIC, termasuk utangnya,”
tambahnya.
Peran APBN dan Kebijakan Presiden
Meski demikian, Said mengakui keputusan akhir apakah utang Whoosh dibebankan ke APBN sepenuhnya menjadi kebijakan Presiden Prabowo Subianto. Ia menekankan keterbatasan fiskal negara dan pentingnya prioritas penggunaan anggaran.
“Kalau kemudian Bapak Presiden mengambil kebijakan lain, kita akan lihat. Kalau dibebankan hutangnya kepada APBN, yang harus menanggung membayar utang KCIC, itu bukan soal sanggup atau tidak. Fiskal kita masih oke, masih baik, tapi cadangan anggarannya harus digunakan menjalankan sektor riil agar prioritas terus meningkat,”
tutur Said.
Sindiran Politik PDIP
Sindiran PDIP muncul terkait wacana penggunaan APBN untuk membayar utang proyek infrastruktur yang sejatinya merupakan tanggung jawab korporasi. Partai itu menekankan perlunya pemisahan risiko bisnis dan tanggung jawab negara, agar anggaran publik tetap fokus pada sektor riil dan pembangunan prioritas.
