Seoul, Mata4.com — Mantan Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, resmi didakwa oleh Kejaksaan Agung Seoul atas dugaan keterlibatan dalam upaya memprovokasi Korea Utara guna menciptakan ketegangan militer yang dapat dijadikan alasan pemberlakuan status darurat nasional pada masa pemerintahannya.
Dakwaan ini menjadi babak baru dalam perjalanan politik Korea Selatan yang dalam dua dekade terakhir berkali-kali diguncang oleh kasus hukum yang menjerat para pemimpinnya. Menurut jaksa, tindakan tersebut diduga dilakukan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan Lee di tengah gejolak sosial dan politik yang terjadi antara tahun 2009 hingga 2011.
Diduga Manipulasi Ancaman dari Korea Utara
Berdasarkan berkas dakwaan yang diumumkan pada Senin (10/11), Lee Myung-bak diduga memerintahkan sejumlah pejabat tinggi di bidang pertahanan dan intelijen untuk membesar-besarkan ancaman militer Korea Utara. Manipulasi ini disebut dilakukan dengan cara menyunting laporan intelijen, mengubah data aktivitas militer di perbatasan, dan memperkuat narasi ancaman serangan lintas batas.
“Terdakwa secara aktif mengarahkan bawahan di Kementerian Pertahanan dan Badan Intelijen Nasional untuk menciptakan kesan bahwa serangan militer dari Korea Utara bersifat nyata dan mendesak,” ujar Kim Jae-hoon, jaksa penuntut utama, dalam konferensi pers di Seoul.
Jaksa menambahkan, langkah itu dimaksudkan untuk membangun dukungan publik terhadap kebijakan keras Lee terhadap Korea Utara sekaligus menyiapkan dasar hukum bagi deklarasi darurat nasional, yang memungkinkan presiden memperluas kekuasaan eksekutif.
Investigasi juga mengungkap adanya komunikasi internal antara kantor presiden (Blue House) dan pejabat militer yang menunjukkan adanya perintah untuk “meningkatkan kesiagaan publik” melalui media nasional, termasuk dengan menayangkan laporan ancaman militer di televisi pemerintah.
Kaitan dengan Insiden Yeonpyeong dan Provokasi 2010
Kasus ini tidak terlepas dari peristiwa penembakan artileri Korea Utara terhadap Pulau Yeonpyeong pada November 2010, yang kala itu menewaskan empat warga Korea Selatan. Insiden tersebut sempat meningkatkan tensi di Semenanjung Korea hingga mendekati konflik terbuka.
Namun, menurut laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, terdapat kejanggalan dalam laporan intelijen yang menjadi dasar keputusan pemerintah Korea Selatan untuk meningkatkan status siaga militer. Beberapa data disebut tidak sesuai dengan hasil pemantauan lapangan dan diduga telah diubah sebelum diteruskan ke presiden.
“Kami menemukan adanya indikasi kuat bahwa sebagian laporan aktivitas militer Korea Utara telah disunting sebelum sampai ke meja presiden. Proses itu melibatkan pejabat tinggi yang kini sedang diperiksa,” ujar salah satu anggota komisi, Yoon Ji-won, dalam laporan publik awal pekan ini.
Pernyataan dan Pembelaan Lee Myung-bak
Menanggapi dakwaan tersebut, Lee Myung-bak melalui kuasa hukumnya menolak semua tuduhan. Ia menegaskan bahwa selama masa pemerintahannya, seluruh keputusan di bidang pertahanan didasarkan pada laporan resmi dan prosedur hukum yang sah.
“Tuduhan bahwa Presiden Lee memprovokasi Korea Utara atau memanipulasi ancaman keamanan adalah tidak berdasar dan tidak masuk akal,” kata Park Sung-ho, juru bicara tim hukum Lee, dalam keterangan resmi yang dikutip Yonhap News.
Park juga menilai bahwa dakwaan ini bermuatan politik, mengingat meningkatnya tensi antara kelompok konservatif dan progresif menjelang pemilihan legislatif 2026.
“Kami melihat upaya untuk mempolitisasi isu keamanan nasional demi keuntungan kelompok tertentu. Presiden Lee akan membuktikan integritasnya di pengadilan,” tambahnya.
Sikap Pemerintah dan Lembaga Hukum
Pemerintah Korea Selatan menyatakan tidak akan mencampuri proses hukum yang sedang berjalan. Kementerian Kehakiman memastikan penyelidikan dilakukan secara independen dan berdasarkan prinsip keadilan.
“Tidak ada satu pun pihak, bahkan mantan presiden, yang berada di atas hukum. Kasus ini akan ditangani sesuai aturan dan tanpa tekanan politik,” kata Choi Min-jung, juru bicara Kementerian Kehakiman.
Sidang perdana Lee dijadwalkan pada 25 November 2025 di Pengadilan Distrik Pusat Seoul. Berdasarkan pasal-pasal yang dilanggar, ia terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara jika terbukti bersalah atas pelanggaran terhadap Undang-Undang Keamanan Nasional dan Undang-Undang Keadaan Darurat Militer.
Respons Publik dan Dampak Politik
Dakwaan terhadap Lee menimbulkan reaksi luas di masyarakat. Di Seoul dan Busan, ratusan warga menggelar aksi damai di depan kompleks pengadilan, menuntut agar kasus ini ditangani secara transparan. Sebagian besar peserta aksi berasal dari kelompok sipil yang selama ini menyerukan transparansi pemerintahan.
“Rakyat berhak tahu kebenaran di balik setiap kebijakan militer yang diambil atas nama keamanan nasional,” ujar Kim Eun-ji, aktivis dari Civil Rights Watch Korea, kepada The Korea Times.
Namun, di sisi lain, kelompok konservatif menilai dakwaan ini berpotensi mengganggu stabilitas politik nasional dan merusak citra Korea Selatan di mata dunia internasional.
Pakar politik dari Universitas Yonsei, Prof. Han Soo-jin, menilai kasus ini menjadi ujian besar bagi sistem hukum Korea Selatan.
“Jika terbukti benar bahwa manipulasi dilakukan demi status darurat, ini akan menjadi skandal politik terbesar dalam sejarah modern Korea Selatan. Tetapi jika tuduhan terbukti tidak berdasar, maka publik akan menilai ini sebagai kriminalisasi terhadap kebijakan masa lalu,” ujarnya.
Sikap Korea Utara dan Reaksi Internasional
Pemerintah Korea Utara melalui media resminya, Rodong Sinmun, menyoroti kasus ini sebagai “bukti kemunafikan elit politik Seoul” yang selama ini menuduh Pyongyang sebagai ancaman regional.
“Pemerintah Seoul selama ini memanipulasi bayangan ancaman dari Utara demi memperkuat kekuasaan mereka sendiri,” tulis Rodong Sinmun dalam editorialnya, Selasa (11/11).
Sementara itu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa pihaknya memantau perkembangan kasus tersebut tetapi menegaskan bahwa “proses hukum di negara demokrasi adalah urusan internal masing-masing negara.”
Di kawasan, Jepang dan Tiongkok juga mengamati kasus ini dengan hati-hati, mengingat stabilitas politik di Seoul sangat memengaruhi dinamika keamanan Asia Timur.
Konteks Historis: Pola Berulang di Korea Selatan
Dakwaan terhadap Lee Myung-bak menambah daftar panjang mantan presiden Korea Selatan yang menghadapi masalah hukum setelah masa jabatannya berakhir. Sebelumnya, Park Geun-hye dipenjara atas kasus korupsi pada 2017, sementara Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo juga pernah dihukum karena penyalahgunaan kekuasaan pada 1990-an.
Pola ini menunjukkan bahwa demokrasi Korea Selatan, meski kuat secara konstitusional, masih menghadapi tantangan serius dalam hal akuntabilitas dan transisi kekuasaan yang bersih.
Penutup
Kasus Lee Myung-bak kini menjadi perhatian publik bukan hanya karena menyangkut mantan kepala negara, tetapi juga karena menyentuh isu paling sensitif di Semenanjung Korea: hubungan dengan Korea Utara dan penggunaan isu keamanan untuk kepentingan politik.
Sidang mendatang akan menjadi ajang pembuktian sejauh mana sistem hukum Korea Selatan mampu menegakkan prinsip keadilan tanpa intervensi politik, sekaligus memastikan bahwa keamanan nasional tidak digunakan sebagai alat kekuasaan.

