Bekasi, Mata4.com – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono menyoroti keresahan masyarakat pasca insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta, yang kembali memunculkan kekhawatiran publik terhadap dampak game online berkonten kekerasan. Ia menilai, peristiwa tersebut harus menjadi momentum untuk mengevaluasi ekosistem digital generasi muda secara menyeluruh, bukan sekadar menimbulkan reaksi sesaat.
“Respons terhadap isu ini harus komprehensif, bukan reaktif. Terkait wacana pembatasan game online, saya memahami kehati-hatian pemerintah sebagai respons atas keresahan publik. Namun, kebijakan harus proporsional dan berbasis data. Tidak semua game aksi berdampak negatif,” ujar Dave kepada wartawan di Jakarta, Rabu (12/11/2025).
Menurutnya, hal yang lebih penting adalah bagaimana konten digunakan, siapa yang mengaksesnya, dan sejauh mana pengawasan dilakukan. Ia memperingatkan bahwa pembatasan yang disamaratakan justru bisa mengabaikan potensi positif industri game, seperti manfaat edukatif, kreatif, hingga peluang ekonomi digital.
Dave mengakui, pengawasan terhadap game online di Indonesia masih menjadi tantangan besar karena bersifat lintas negara. Meski sistem klasifikasi konten sudah ada, pelaksanaannya belum berjalan optimal.
“Kita perlu sistem rating yang lebih ketat, literasi digital di sekolah, dan peran aktif orang tua dalam mengawasi anak. Pengawasan tidak cukup hanya lewat aturan, tapi juga lewat edukasi dan keterlibatan lingkungan sekitar anak,” jelasnya.
Menanggapi perdebatan mengenai korelasi antara game dan kekerasan, Dave mengingatkan pentingnya pendekatan yang berhati-hati dan berbasis bukti. Ia menegaskan, kekerasan di dunia nyata tidak semata-mata disebabkan oleh game, melainkan juga faktor lingkungan sosial, kesehatan mental, pola asuh, dan tekanan hidup.

“Game bisa menjadi pemicu, tapi bukan akar masalah. Solusinya harus holistik, bukan sekadar pembatasan teknis,” katanya.
Komisi I DPR RI, lanjut Dave, bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), tengah mengkaji langkah penguatan regulasi terhadap perusahaan game global. Salah satunya melalui verifikasi usia, sistem kontrol orang tua, dan kewajiban kepatuhan terhadap aturan lokal.
“Platform global harus patuh pada aturan lokal, terutama soal batas usia pemain dan konten yang berpotensi membahayakan. Ini bukan sekadar kontrol, tapi tanggung jawab bersama menciptakan ruang digital yang aman bagi anak,” tegasnya.
Hingga kini, belum ada sanksi pidana langsung bagi produsen game luar negeri yang menampilkan kekerasan, kecuali jika mengandung unsur pornografi, terorisme, atau ujaran kebencian. Meski demikian, Komdigi dapat memblokir akses terhadap game yang dianggap membahayakan publik.
“Ke depan, regulasi harus lebih kuat agar platform global ikut bertanggung jawab atas konten yang beredar di Indonesia. Ini bagian dari menjaga kedaulatan digital,” sambungnya.
Sebagai penutup, Dave menekankan bahwa pembatasan bukan sekadar menutup akses, tetapi bertujuan membangun kebiasaan digital yang sehat dan mendidik.
“Tugas kita bukan hanya membatasi, tapi membangun ekosistem digital yang aman, produktif, dan berpihak pada anak. Komisi I DPR RI berkomitmen mengawal isu ini secara serius dengan menjunjung tinggi hak anak, kebebasan berekspresi, dan kedaulatan digital bangsa,” pungkasnya.
