Bekasi, Mata4.com – Fakta mencengangkan terungkap dari balik kinerja ribuan perusahaan pelat merah di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Chief Investment Officer (CIO) BPI Danantara, Pandu Sjahrir, secara terbuka membeberkan kesenjangan kinerja yang sangat lebar di tubuh perusahaan negara. Ia menyebut, dari total 1.060 perusahaan di bawah pengawasan BUMN dan Danantara, hampir seluruh dividen kepada negara hanya berasal dari sebagian kecil perusahaan.
“Dari 1.060 perusahaan yang ada di bawah Danantara, yang memberikan dividen itu hanya 95 persen datang dari delapan, less than 1 persen,” ungkap Pandu Sjahrir dalam Antara Business Forum di The Westin Jakarta, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).
Pernyataan tersebut menggambarkan ironi besar: delapan perusahaan saja menjadi tulang punggung setoran dividen, menanggung beban dari ribuan perusahaan lain yang tidak memberikan kontribusi optimal.
Tidak hanya soal minimnya kontributor dividen, Pandu menyoroti kondisi finansial perusahaan BUMN secara keseluruhan. Ia mengungkapkan bahwa 52 persen dari total perusahaan tersebut justru mencatatkan kerugian. Kondisi ini menjadi pekerjaan berat bagi Danantara untuk memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah yang merugi dan tidak produktif.
“Yang merugi minimum 52 persen. Jadi tugas kami itu kalau memang ada perusahaan yang rugi bisa kita perbaiki dengan mengkonsolidasi. Jenis bisnis yang sama kita akan konsolidasikan,” tegasnya.
Konsolidasi menjadi strategi utama Danantara dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Perusahaan dengan model bisnis serupa akan dilebur agar pengelolaan aset lebih optimal dan efisien.

Salah satu langkah nyata adalah konsolidasi sektor kesehatan. Pandu menjelaskan bahwa ada delapan entitas manajemen aset dengan model bisnis mirip yang digabungkan menjadi satu entitas baru. Hasilnya adalah pembentukan Danantara Hospital Group, yang kini menjadi grup rumah sakit terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah fasilitas dan kapasitas tempat tidur.
Namun di balik skala besarnya, terdapat kenyataan pahit. EBITDA margin rumah sakit BUMN tercatat hanya sekitar 8 persen, jauh di bawah standar industri kesehatan yang rata-rata mencapai 40 persen. “Hanya EBITDA marginnya terendah di Indonesia,” ujar Pandu dengan nada prihatin.
Kondisi ini menunjukkan bahwa efisiensi operasional dan profitabilitas rumah sakit BUMN masih jauh dari optimal. Karena itu, Danantara menargetkan peningkatan signifikan melalui konsolidasi, penyatuan sumber daya, dan penunjukan tim manajemen yang berpengalaman membangun rumah sakit berstandar internasional.
“Kalau kita sekarang EBITDA margin hospital itu 8 persen, yang lain-lain 40 persen. Kalau kita satuin terus kita cari orang yang memang fokusnya membangun hospital berskala internasional, yakin loh marginnya bisa naik. Paling tidak 20 persen tahun pertama terus bisa 40 persen tahun depan,” ujar Pandu optimis.
Strategi konsolidasi ini, menurutnya, adalah kunci untuk menyehatkan ekosistem BUMN dan menjadikannya mesin penghasil dividen yang sebenarnya. Dengan perbaikan manajemen, efisiensi operasional, serta pengelompokan ulang aset berdasarkan kesamaan bisnis, Danantara berharap dapat mengubah wajah BUMN dari perusahaan yang banyak merugi menjadi kelompok korporasi yang kuat dan memberi kontribusi signifikan bagi negara.
