
Jakarta, 18 Juli 2025 — Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan penerapan kebijakan “satu orang satu akun media sosial” sebagai upaya meminimalisasi penyalahgunaan platform digital di Indonesia. Usulan ini disampaikan dalam rapat kerja Komisi I yang membahas penguatan regulasi dunia maya dan keamanan siber.
Menurut pengusul, langkah tersebut ditujukan untuk menekan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan berbagai bentuk kejahatan digital lain yang dinilai makin mengkhawatirkan. Dengan kebijakan ini, setiap akun media sosial harus dikaitkan langsung dengan identitas resmi pemiliknya.
“Ruang digital sudah menjadi arena publik yang sangat berpengaruh, tetapi penyalahgunaan akun anonim kerap memicu konflik dan kejahatan siber. Kami menilai perlu ada pembatasan agar satu orang hanya memiliki satu akun, yang terverifikasi dengan jelas,” ujar anggota DPR dari Komisi I kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (16/7).
Didukung Pakar Keamanan Siber
Pengamat keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menyampaikan bahwa wacana tersebut memiliki nilai positif dalam upaya menertibkan dunia digital.
“Dari sisi keamanan digital, ini langkah maju. Selama pelaksanaannya memperhatikan aspek perlindungan data pribadi, kebijakan ini dapat mempersempit ruang gerak akun-akun palsu yang selama ini digunakan untuk penipuan, hoaks, dan propaganda,” ujarnya melalui sambungan telepon.
Pratama menambahkan, sistem ini harus dijalankan dengan transparansi dan melibatkan lembaga yang kompeten dalam perlindungan data, seperti Komisi Perlindungan Data Pribadi (KPDP).
Tantangan dan Kritik
Meski demikian, usulan ini menuai sejumlah kritik dari kalangan pegiat kebebasan digital dan masyarakat sipil. Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi melanggar hak atas privasi dan kebebasan berekspresi, terutama jika tidak diimbangi dengan regulasi yang adil dan terbuka.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, menyebut bahwa pembatasan jumlah akun bisa menjadi bentuk pembungkaman terselubung.
“Penggunaan lebih dari satu akun tidak selalu negatif. Banyak warga yang memisahkan akun pribadi, profesional, dan komunitas. Negara seharusnya fokus pada penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan digital, bukan membatasi partisipasi warganet,” jelas Damar dalam keterangannya.
Damar juga menyoroti risiko penyalahgunaan data apabila sistem identitas digital tersebut tidak dikelola secara akuntabel.