
Jakarta, Mata4.com — Mantan Gubernur DKI Jakarta dan tokoh nasional, Anies Rasyid Baswedan, kembali menjadi sorotan publik setelah menyampaikan pernyataan kontroversial namun menggugah pikiran mengenai kebijakan perpajakan di Indonesia. Dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Keadilan Ekonomi untuk Semua” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Kebijakan Publik di bilangan Menteng, Jakarta, Anies menyatakan bahwa rumah tempat tinggal tidak seharusnya dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
“Tempat tinggal itu hak asasi manusia. Negara seharusnya melindungi, bukan memajaki kebutuhan dasar warganya. Bayangkan, rakyat sudah membangun rumahnya sendiri dengan jerih payah bertahun-tahun, lalu setiap tahun masih harus membayar pajak hanya karena tinggal di rumahnya sendiri. Itu tidak adil,” tegas Anies di hadapan ratusan peserta, termasuk akademisi, aktivis, dan tokoh masyarakat.
Gagasan Lama yang Dihidupkan Kembali
Pernyataan ini bukan sesuatu yang baru bagi publik yang mengikuti rekam jejak kebijakan Anies. Saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022, Anies menerapkan penghapusan PBB bagi kelompok tertentu, seperti pensiunan ASN, veteran, penerima bintang jasa, guru honorer, dan warga lanjut usia. Kebijakan tersebut mendapat sambutan positif dari warga DKI yang merasa terbantu secara ekonomi.
Kini, dengan semangat serupa, Anies mengusulkan agar kebijakan penghapusan PBB diperluas ke tingkat nasional. Baginya, negara tidak seharusnya memungut pajak atas rumah-rumah rakyat biasa, terutama yang digunakan untuk tempat tinggal pribadi dan bukan untuk tujuan komersial.
Argumen Moral dan Ekonomi: Pajak atas Tempat Tinggal Merupakan Beban
Dalam paparannya, Anies menekankan bahwa rumah tinggal bukan barang mewah, melainkan kebutuhan dasar. Maka, ketika rumah dikenai pajak secara rutin, negara secara tidak langsung telah membebani rakyat atas hak hidup yang paling mendasar.
“PBB seharusnya dikenakan pada lahan komersial, properti investasi, atau rumah-rumah kosong yang dibeli hanya untuk spekulasi nilai. Tapi bukan rumah keluarga yang ditinggali secara aktif oleh pemiliknya,” jelas Anies.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa penerimaan negara bisa tetap optimal tanpa mengorbankan keadilan sosial, jika pemerintah fokus pada objek pajak yang benar-benar relevan dengan prinsip redistribusi ekonomi. “Kalau ingin pendapatan negara bertambah, perkuat pajak progresif atas kekayaan, bukan atas kebutuhan,” ujarnya.
Respons Masyarakat: Wacana yang Mengena ke Akar Rumput
Pernyataan Anies langsung menyebar luas di media sosial dan menjadi pembahasan hangat di berbagai platform diskusi daring. Banyak masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah, merasa pernyataan tersebut merepresentasikan kegelisahan mereka selama ini.
“PBB rumah saya naik terus tiap tahun, padahal gaji nggak naik-naik. Kadang bingung bayar dari mana. Kalau bisa dihapus, itu benar-benar membantu,” ujar Supardi, seorang buruh pabrik di Bekasi.
Tak sedikit juga yang menyampaikan bahwa PBB menjadi beban psikologis. Warga khawatir suatu hari rumah mereka bisa disita atau dilelang hanya karena tak mampu membayar pajak tahunan.
Pandangan Pengamat: Antara Ideal dan Realita
Meski banyak masyarakat menyambut positif, beberapa pengamat kebijakan fiskal memberikan catatan. Menurut mereka, PBB merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang vital, terutama bagi pemerintah daerah yang tidak memiliki banyak opsi pendanaan.
“Secara prinsip, argumen Pak Anies menarik dan berpihak pada rakyat. Tapi realitanya, PBB adalah tulang punggung keuangan daerah. Tanpa PBB, banyak daerah akan kehilangan kemampuan membiayai layanan publik,” jelas Dr. Andi Mahendra, pakar fiskal dari Universitas Gadjah Mada.
Namun, Dr. Andi juga menyetujui bahwa PBB seharusnya didesain ulang secara lebih adil dan proporsional. Ia mendorong penerapan pajak berbasis kemampuan, dengan tarif rendah atau nol persen bagi rumah tinggal sederhana, dan tarif tinggi bagi properti mewah, apartemen kosong, serta tanah yang dibiarkan mangkrak.

www.service-ac.id
Peta Politik dan Isu yang Sensitif
Pernyataan ini juga dinilai sebagai sinyal politik, mengingat Anies digadang-gadang kembali masuk dalam bursa calon kepala daerah atau bahkan calon presiden pada pemilu mendatang. Wacana penghapusan PBB rumah tinggal bisa menjadi “isu populis” yang menarik simpati, namun sekaligus menantang struktur perpajakan nasional.
“Ini pernyataan yang berani. Tapi Anies juga harus siap menjelaskan skema pengganti bagi daerah, agar tidak terjadi kekacauan fiskal,” kata Yunita Ratri, analis kebijakan publik.
Apakah PBB Bisa Dihapus Secara Nasional?
Secara hukum, penghapusan atau pengurangan PBB bisa dilakukan melalui revisi Undang-Undang Pajak dan Peraturan Pemerintah terkait pajak daerah. Namun prosesnya tidak mudah. Diperlukan koordinasi antara pemerintah pusat, DPR, serta pemerintah daerah.
Beberapa daerah, seperti DKI Jakarta di era Anies, telah membuktikan bahwa penghapusan PBB untuk kategori tertentu memungkinkan tanpa membuat keuangan daerah kolaps. Namun untuk skala nasional, pendekatan yang digunakan harus lebih hati-hati dan berbasis data.
Penutup: Menuju Pajak yang Adil dan Berkeadaban
Pernyataan Anies Baswedan soal PBB membuka ruang diskusi luas tentang arah kebijakan perpajakan Indonesia ke depan. Apakah pajak selama ini benar-benar adil? Apakah negara telah membebani rakyat dengan pungutan yang tidak semestinya?
Meskipun belum tentu langsung diadopsi sebagai kebijakan, gagasan ini telah mengangkat kesadaran bahwa pajak bukan hanya soal angka, tetapi juga menyangkut nilai keadilan, moralitas, dan keberpihakan.
“Negara hadir bukan untuk mengambil dari rakyat yang sudah lemah, tapi untuk melindungi mereka,” tutup Anies di akhir diskusi. Pernyataan tersebut, seperti biasa, meninggalkan gema panjang dalam ruang publik dan menantang para pengambil kebijakan untuk berpikir lebih dalam: Pajak seperti apa yang benar-benar adil?