Jayapura, 24 Juli 2025 — Pengadilan Negeri Jayapura menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada seorang anggota Polri bernama Aske Mabel, yang terbukti bersalah karena membelot dari institusi kepolisian dan menyerahkan senjata api kepada kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Keputusan ini menandai salah satu kasus pelanggaran disiplin dan hukum pidana paling serius yang melibatkan anggota kepolisian di wilayah konflik Papua dalam beberapa tahun terakhir.
Sidang pembacaan vonis digelar pada Selasa (23/7) di bawah penjagaan ketat. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana kepemilikan dan penyerahan senjata api secara ilegal, serta tindakan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kronologi: Dari Anggota Polisi Menjadi Pembelot
Aske Mabel diketahui bertugas sebagai anggota Polres Puncak Jaya, salah satu wilayah paling rawan konflik di Provinsi Papua Tengah. Menurut keterangan jaksa penuntut umum dalam persidangan, pada awal tahun 2024, Aske secara diam-diam membawa kabur senjata laras panjang jenis SS1 V1 milik Polri beserta sejumlah amunisi aktif.
Ia kemudian meninggalkan pos tugas tanpa izin dan bergabung dengan salah satu kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka. Berdasarkan penyelidikan dan bukti digital, senjata tersebut kemudian digunakan oleh kelompok separatis dalam beberapa aksi penyerangan terhadap aparat keamanan dan fasilitas umum di wilayah pegunungan tengah Papua.
“Perbuatan terdakwa sangat berbahaya, karena secara langsung memperkuat kelompok yang selama ini melakukan kekerasan bersenjata terhadap negara dan masyarakat sipil,” ujar jaksa dalam sidang tuntutan.
Tuntutan dan Putusan Hakim
Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut Aske Mabel dengan hukuman 12 tahun penjara, mengacu pada pelanggaran terhadap Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan dan distribusi senjata api ilegal, serta pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, majelis hakim memutuskan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, yakni 8 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, hakim menyebutkan bahwa terdakwa bersikap kooperatif selama penyidikan, mengakui kesalahan, dan belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya.
“Meski perbuatannya tergolong sangat berat dan membahayakan keamanan negara, terdakwa menunjukkan penyesalan serta tidak berusaha menghindari proses hukum,” ujar Ketua Majelis Hakim dalam pembacaan putusan.
Reaksi dari Kepolisian dan Pemerintah
Polda Papua segera merespons putusan tersebut dengan pernyataan tegas. Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Ignatius Benny Ady Prabowo, menegaskan bahwa tindakan Aske Mabel merupakan bentuk pengkhianatan terhadap institusi dan akan menjadi pelajaran bagi seluruh personel kepolisian.
“Kami tidak mentolerir tindakan yang mencoreng institusi dan membahayakan keamanan nasional. Siapa pun yang terbukti mendukung kelompok separatis akan diproses secara hukum tanpa kompromi,” tegasnya kepada awak media.
Pihak kepolisian juga mengonfirmasi bahwa Aske Mabel telah diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) sejak awal penyidikan dimulai pada pertengahan 2024.
Sementara itu, pihak Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menyatakan bahwa kasus ini menjadi bukti bahwa aparat penegak hukum di wilayah konflik harus dibekali dengan pengawasan, pelatihan, dan pendekatan ideologi yang lebih kuat agar tidak mudah terpapar pengaruh kelompok separatis.
Ancaman Serius bagi Stabilitas Keamanan Papua
Kasus Aske Mabel menyoroti kembali tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga stabilitas keamanan di Papua. Wilayah tersebut, terutama di pegunungan tengah, masih kerap dilanda aksi kekerasan oleh kelompok bersenjata separatis yang menamakan diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), bagian dari OPM.
Sering kali, kelompok ini mendapatkan akses terhadap senjata api dan logistik dari sumber-sumber tidak resmi, termasuk oknum aparat yang terpapar ideologi separatis atau yang kecewa terhadap sistem. Penyerahan senjata oleh aparat aktif seperti Aske Mabel dinilai sangat membahayakan, karena dapat memperkuat kelompok tersebut secara signifikan dan memicu eskalasi konflik bersenjata di wilayah rawan.
Pemerintah melalui aparat gabungan TNI-Polri terus berupaya memulihkan keamanan dan ketertiban di Papua dengan pendekatan keamanan dan pembangunan yang seimbang. Namun, kasus seperti ini menunjukkan bahwa perbaikan dari dalam institusi juga menjadi prioritas utama.
Kesimpulan: Sebuah Pengkhianatan yang Tidak Bisa Ditoleransi
Putusan terhadap Aske Mabel menjadi peringatan keras bagi siapa pun, terutama aparat negara, agar tetap setia pada sumpah jabatan dan tugas negara. Membelot dan menyerahkan senjata ke tangan kelompok separatis bukan hanya pengkhianatan, tetapi juga sebuah ancaman nyata terhadap nyawa masyarakat dan integritas negara.
Hukuman delapan tahun penjara bagi Aske Mabel menunjukkan bahwa hukum tetap berjalan dan siap menindak siapa saja yang melemahkan kedaulatan Indonesia dari dalam.
