
Jakarta, Mata4.com — Pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.358 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka ini bukan sekadar deretan nol di atas kertas—ini adalah ambisi fiskal yang sangat besar, yang menimbulkan pertanyaan di benak banyak orang: siapa yang akan menanggung beban ini?
Lebih dari sekadar angka, target tersebut mencerminkan harapan, tekanan, dan—bagi sebagian—kekhawatiran. Apakah ini sebuah lompatan menuju kemandirian fiskal? Atau justru akan menjadi momok baru bagi para pelaku usaha dan masyarakat kelas menengah yang selama ini sudah patuh membayar pajak?
Di tengah semua itu, satu istilah klasik kembali menggema: “berburu di kebun binatang.”
Apa Maksudnya ‘Berburu di Kebun Binatang’?
Istilah ini bukan guyonan. Dalam konteks perpajakan, ini adalah kritik serius terhadap kebijakan yang dinilai lebih fokus menggali dari wajib pajak yang sudah tercatat dan taat, daripada memperluas basis pajak dengan menjangkau sektor-sektor yang selama ini luput dari pengawasan, seperti sektor informal atau ekonomi digital gelap.
Bayangkan Anda adalah seekor singa. Daripada berburu rusa liar di hutan, Anda malah masuk ke kebun binatang dan memangsa hewan yang tak bisa lari. Begitulah perumpamaannya—mudah, tapi tidak mencerminkan keadilan.
Kritik ini dilontarkan oleh ekonom, pengusaha, hingga masyarakat umum yang merasa semakin ditekan dengan kewajiban pajak yang kompleks dan pengawasan yang semakin ketat.
“Kalau cuma fokus ke yang sudah terdaftar, itu bukan memperluas basis pajak. Itu memperdalam luka wajib pajak,” sindir Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dalam sebuah diskusi publik.
Target Tinggi, Tapi Apakah Realistis?
Jika dibandingkan, target Rp2.358 triliun untuk 2026 naik sekitar 2,1% dari outlook penerimaan pajak 2025 yang diproyeksikan di angka Rp2.309 triliun. Kementerian Keuangan menyebut ini sebagai bentuk keyakinan terhadap pertumbuhan ekonomi yang stabil, peningkatan kepatuhan pajak, serta kemajuan dalam reformasi perpajakan nasional.
Namun banyak pengamat justru melihatnya sebagai tekanan terselubung. Tekanan terhadap siapa? Terutama terhadap wajib pajak pribadi dan badan usaha yang selama ini sudah rutin dan taat melapor serta membayar pajak.
Sementara itu, sektor informal, ekonomi digital, dan transaksi lintas batas yang nilainya triliunan rupiah, masih belum tergarap maksimal.
Wajib Pajak: “Kami Sudah Bayar, Tapi Kenapa Kami Terus Dikejar?”
Para pelaku UMKM, perusahaan lokal, hingga pekerja profesional kini mulai bertanya-tanya: apakah mereka akan menjadi korban dari ambisi fiskal ini?
Beberapa pengusaha mengaku belakangan ini mulai sering didatangi oleh petugas pajak, diminta klarifikasi transaksi, hingga diperiksa mendalam atas setiap laporan keuangan mereka.
“Kami ini sudah bayar pajak, sudah ikut program PPS (Pengungkapan Sukarela), laporan juga rapi. Tapi tiap tahun rasanya makin diperas. Sementara banyak influencer, pedagang online, bahkan bisnis digital besar yang belum tersentuh,” ujar pemilik perusahaan distribusi barang FMCG di Jakarta.
Hal senada juga diungkapkan kalangan pekerja profesional. Dengan sistem pelaporan elektronik yang kian ketat, banyak dari mereka yang merasa selalu berada dalam radar, meskipun pendapatannya transparan dan sudah dikenai pajak penghasilan otomatis.

www.service-ac.id
DJP: Bukan Soal Menekan, Tapi Memperluas
Direktorat Jenderal Pajak membantah bahwa mereka hanya menarget yang sudah terdata. Dalam beberapa pernyataan resmi, DJP menegaskan bahwa strategi utama 2026 adalah perluasan basis pajak, bukan sekadar peningkatan intensitas pemeriksaan.
Langkah-langkah strategis yang diambil antara lain:
- Integrasi data lintas lembaga (DJP, OJK, Dukcapil, dan lainnya)
- Pemanfaatan big data dan AI untuk mendeteksi potensi pajak tersembunyi
- Integrasi sistem pembayaran digital dan transaksi e-commerce
- Fokus pada pengawasan sektor ekonomi digital dan nonformal
“Kami tidak ingin membebani yang sudah patuh. Fokus kami adalah menjangkau yang selama ini belum masuk sistem. Itu bagian dari reformasi struktural,” ujar Dirjen Pajak dalam konferensi pers awal bulan ini.
Namun, realitas di lapangan tidak selalu seindah narasi. Masih banyak wajib pajak yang merasa bahwa mereka diperlakukan seperti ‘sapi perah’, sementara yang lainnya lolos tanpa terjamah.
Apakah Sistemnya Sudah Siap?
Meskipun DJP terus mendorong digitalisasi dan kemudahan layanan, faktanya masih banyak celah yang membuat sistem belum mampu menangkap semua pelaku ekonomi, khususnya mereka yang bergerak secara informal, daring, atau berbasis komunitas.
Ekonomi digital, misalnya. Banyak influencer, kreator konten, hingga pelaku bisnis online beromzet miliaran rupiah yang belum sepenuhnya terdaftar sebagai wajib pajak. Padahal, transaksi mereka kasat mata dan mudah dilacak—asal ada kemauan politik dan keberanian regulasi.
Solusi: Edukasi, Inklusi, Bukan Hanya Penindakan
Pakar perpajakan menekankan bahwa keberhasilan penerimaan pajak bukan hanya soal pengawasan dan target, tapi soal edukasi, literasi, dan insentif.
Masyarakat akan lebih rela membayar pajak jika:
- Mereka merasa adil diperlakukan
- Melihat transparansi penggunaan pajak
- Mendapat imbal hasil berupa layanan publik yang baik
- Sistem pelaporan dan pembayaran dibuat sederhana
Sayangnya, sebagian besar wajib pajak masih merasa bahwa uang yang mereka setorkan tidak kembali dalam bentuk fasilitas publik yang layak.
Penutup: Pajak Bukan Sekadar Kewajiban, Tapi Kontrak Sosial
Pajak adalah tiang utama negara. Tapi tiang yang kuat hanya bisa berdiri jika dasarnya kokoh: kepercayaan.
Target Rp2.358 triliun bukan tidak mungkin tercapai. Tapi untuk mewujudkannya, pemerintah harus memastikan bahwa perburuan pajak tidak dilakukan secara membabi buta. Jangan sampai strategi yang diambil justru mematikan ekosistem ekonomi yang sedang tumbuh, atau memperdalam ketimpangan antara yang taat dan yang lepas dari radar.
Masyarakat tidak anti pajak. Yang mereka tolak adalah ketidakadilan.
“Jangan hanya berburu di kebun binatang. Saatnya masuk hutan rimba, kejar potensi yang belum tergarap. Itu baru reformasi yang sejati.”
— Bhima Yudhistira, CELIOS