Jakarta, Mata4.com – Kementerian Keuangan mengungkap fakta mengejutkan: dana pemerintah daerah (Pemda) yang mengendap di bank mencapai Rp233 triliun. Angka fantastis ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa dana rakyat “tidur” sementara kebutuhan publik masih menumpuk?
Ironi Pengelolaan Dana Daerah
Setiap tahun, Pemda menerima transfer dana besar dari pusat. Namun, realisasi belanja daerah sering rendah, terutama pada semester pertama. Penyebabnya klasik: perencanaan lemah dan birokrasi berbelit-belit. Alih-alih digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, atau pemberdayaan UMKM, sebagian dana justru mengendap di bank, bahkan dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan tambahan melalui bunga simpanan.
Baca Juga:
profil martin hartono pengusaha sukses
Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis. Praktik menyimpan dana menandakan politik anggaran daerah yang tidak sehat. APBD sering bagus di atas kertas, tetapi sulit dieksekusi di lapangan. Setiap akhir tahun, serapan dipaksa agar terlihat optimal—namun kualitas dan output jadi korban.
Dampak Ekonomi dan Peluang Korupsi
Rp233 triliun yang “tidur” berarti rakyat harus menunggu lebih lama: jalan desa berlubang tak diperbaiki, sekolah reyot tetap reyot, puskesmas kekurangan alat kesehatan. Belanja pemerintah adalah motor penggerak ekonomi lokal. Dana yang tak bergerak membuat pedagang sulit menjual barang, kontraktor kehilangan proyek, dan lapangan kerja baru tidak tercipta.
Selain itu, dana mengendap membuka peluang praktik korupsi terselubung. Bank mendapat dana segar untuk diputar, memperoleh keuntungan dari bunga dan likuiditas. Kadang hubungan Pemda dan bank dibumbui kickback terselubung, sulit dideteksi karena dibungkus kerja sama resmi.

Solusi dan Jalan Keluar
Pemerintah pusat perlu lebih tegas dalam mengawasi penggunaan dana daerah. Daerah yang mampu merealisasikan anggaran dengan baik harus diberi insentif, sementara Pemda lalai wajib mendapat disinsentif dan diumumkan ke publik.
Peningkatan kapasitas SDM dan digitalisasi sistem keuangan juga krusial. Dengan pengawasan yang transparan, dana daerah dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meminimalisir peluang korupsi.
Rp233 triliun yang mengendap bukan sekadar salah kelola, tetapi simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Dana publik harus bergerak untuk rakyat, bukan hanya tidur nyenyak di bank atau bocor lewat gratifikasi.
Saatnya Pemda sadar: mengendapkan dana bukan sekadar menunda kesejahteraan, tetapi juga merusak integritas negara.
