
Jakarta, Mata4.com — Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, sering kali dipandang sebagai generasi paling terbuka dalam sejarah modern. Mereka dibesarkan di era keterbukaan informasi, didukung oleh media sosial, literasi digital tinggi, dan kesadaran sosial yang cukup luas. Namun, sebuah fakta yang cukup mengejutkan muncul ke permukaan: meskipun dikenal vokal dalam menyuarakan isu kebebasan dan inklusivitas, banyak dari mereka justru masih merasa tidak nyaman melihat ibu menyusui di ruang publik.
Fenomena ini menjadi menarik sekaligus memantik refleksi. Benarkah keterbukaan pikiran Gen Z hanya berlaku pada isu-isu global yang sedang tren di media sosial, namun belum sepenuhnya tercermin dalam sikap terhadap realitas sosial di sekitar mereka?
Hasil Survei: Gen Z dan Ketidaknyamanan terhadap Menyusui di Publik
Sebuah survei nasional yang dilakukan oleh lembaga riset sosial mengungkap bahwa lebih dari 40% responden dari kalangan Gen Z menyatakan mereka merasa risih atau tidak nyaman melihat ibu menyusui di tempat umum. Bahkan sebagian kecil menganggapnya sebagai tindakan yang “tidak sopan” atau “tidak pantas dilakukan di ruang publik.”
Hasil ini tentu mengejutkan banyak pihak, mengingat Gen Z selama ini dikenal vokal mendukung kebebasan berekspresi, pemberdayaan perempuan, dan kesetaraan gender. Ketika menyusui — yang merupakan tindakan alamiah sekaligus bentuk pemenuhan hak anak — masih dianggap tabu, maka muncul pertanyaan besar: seberapa dalam pemahaman Gen Z terhadap hak-hak dasar perempuan dan anak sebenarnya?
Menyusui di Ruang Publik: Antara Hak, Kebutuhan, dan Norma Sosial
Menyusui adalah hak setiap ibu, dan menyusu adalah kebutuhan dasar setiap bayi. WHO dan UNICEF secara tegas merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak ibu masih kesulitan menyusui di luar rumah karena tekanan sosial dan minimnya ruang publik yang ramah ibu menyusui.
Meski tidak ada aturan hukum yang melarang menyusui di tempat umum, stigma dan pandangan negatif dari lingkungan sekitar menjadi hambatan terbesar. Ketika sebagian besar fasilitas umum seperti taman, mal, terminal, hingga restoran tidak menyediakan ruang laktasi yang layak, ibu sering kali dihadapkan pada pilihan sulit: menyusui di tempat umum atau membiarkan anaknya menangis kelaparan.
Ironisnya, di tengah tuntutan agar perempuan menjadi ibu yang “sempurna”, ruang publik tidak sepenuhnya mendukung mereka. Dan di sinilah opini publik — termasuk opini Gen Z — memegang peranan penting.
Apa yang Membentuk Ketidaknyamanan Ini?
Ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi cara pandang Gen Z terhadap menyusui di ruang publik:
1. Kurangnya Edukasi Visual dan Representasi Positif
Menyusui masih jarang ditampilkan dalam media sebagai aktivitas normal. Tubuh perempuan lebih sering digambarkan secara seksual, sehingga fungsi biologis seperti menyusui menjadi “asing” dan “sensitif”. Jika sejak kecil seseorang jarang melihat ibu menyusui secara langsung atau di media, maka wajar bila hal itu terasa “tidak biasa” bahkan “mengganggu”.
2. Budaya ‘Privatisasi’ Tubuh Perempuan
Dalam banyak budaya termasuk Indonesia, tubuh perempuan masih dianggap sebagai sesuatu yang harus ditutup, disembunyikan, dan tidak boleh “terlihat” di ruang publik — bahkan ketika digunakan untuk kebutuhan alamiah seperti menyusui. Ini menciptakan persepsi bahwa perempuan yang menyusui di depan umum “melanggar batas”.
3. Dampak Sosial Media dan Lingkungan Digital
Sebagai generasi yang hidup dalam dunia digital, Gen Z sangat dipengaruhi oleh norma-norma online. Banyak dari mereka mendapatkan pemahaman sosial dari media sosial, yang sayangnya masih banyak menampilkan tubuh perempuan sebagai objek konsumsi visual, bukan sebagai subjek dengan hak tubuh yang utuh.

www.service-ac.id
Perspektif Aktivis dan Tenaga Kesehatan
Menurut Lita Saraswati, seorang aktivis pemberdayaan perempuan dan konsultan laktasi, fenomena ini perlu ditanggapi secara serius.
“Menormalisasi menyusui bukan hanya soal kenyamanan visual masyarakat. Ini adalah bentuk dukungan terhadap kesehatan ibu dan anak. Ketidaknyamanan seharusnya diarahkan pada kurangnya fasilitas publik ramah ibu, bukan pada ibu yang berusaha memenuhi kebutuhan anaknya,” tegasnya.
Lita menambahkan bahwa menyusui adalah hak konstitusional yang dijamin dalam UU Kesehatan dan Konvensi Hak Anak. Jika Gen Z benar-benar ingin menjadi agen perubahan sosial, maka memahami konteks ini penting agar perjuangan mereka untuk kesetaraan tidak bersifat selektif.
Kampanye Sosial dan Harapan ke Depan
Sejumlah kampanye mulai digalakkan kembali seperti:
- NormalizeBreastfeeding
- BebasMenyusui
- ASISetiapSaatDiManaSaja
- PublicNursingIsNormal
Tujuannya adalah menciptakan pemahaman bahwa menyusui di ruang publik bukan hal yang janggal, melainkan bentuk cinta dan pengorbanan seorang ibu yang patut didukung, bukan disudutkan.
Edukasi kepada Gen Z dapat dimulai dari hal kecil: menampilkan representasi ibu menyusui di media sosial secara positif, menghadirkan ruang diskusi terbuka, serta memperbanyak ruang laktasi yang layak di fasilitas umum.
Menutup Paradoks: Open Minded Bukan Sekadar Label
Generasi Z memiliki potensi besar sebagai agen perubahan sosial. Namun keterbukaan pikiran tidak berhenti di dukungan terhadap isu global atau tren media sosial. Ia juga harus diwujudkan dalam sikap sehari-hari, termasuk dalam bagaimana kita memperlakukan ibu menyusui di ruang publik.
Jika Gen Z ingin sungguh-sungguh memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial, maka dukungan terhadap hak ibu menyusui harus menjadi bagian dari komitmen itu. Tidak cukup hanya dengan menyebut diri “open minded”, tetapi harus dibuktikan dengan empati, edukasi, dan keberanian menantang norma lama yang sudah tidak relevan.