Bekasi, Mata4.com – Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, angkat bicara menanggapi kabar bahwa gedung parlemen menjadi target serangan teroris yang diduga melibatkan anak sebagai pelaku. Ia memastikan bahwa sistem pengamanan di lingkungan DPR telah berjalan maksimal meski tetap memerlukan evaluasi berkelanjutan.
“Kalau aspek keamanan menurut saya sudah cukup maksimal. Standar pengamanan di DPR ini ketat. Saya juga kadang-kadang masuk ke sini, saya lihat ada yang jaga, dicek mobil kita, itu termasuk mobil anggota,” ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
Meski demikian, ia mengakui bahwa sistem keamanan yang ketat terkadang menyulitkan tamu maupun konstituen dari daerah pemilihan. “Kadang-kadang terlalu ketat juga agak repot. Kadang kesulitan terima tamu dari Dapil, nyangkut di depan lama banget, padahal sudah menunjukkan identitas,” tuturnya.
Terkait keterlibatan anak dalam jaringan terorisme, Habiburokhman menegaskan pihaknya akan membahas penanganan secara lebih detail bersama aparat penegak hukum. Menurutnya, terdapat mekanisme hukum khusus untuk melindungi anak, sehingga ia meminta kepolisian mematuhi pedoman tersebut. “Ada antisipasi spesifik, ada mekanisme yang mengatur soal anak. Tentu kita minta kepolisian mematuhi hal tersebut,” katanya.

Ancaman Rekrutmen Anak
Sebelumnya, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkap angka mencemaskan: sebanyak 110 anak usia 10 hingga 18 tahun diduga telah direkrut jaringan terorisme dan tersebar di 23 provinsi. Data ini disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko.
“Propaganda awalnya diseminasi melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online,” ujar Trunoyudo. Konten yang disebarkan berupa video pendek, animasi, meme, hingga musik yang dikemas menarik untuk membangun kedekatan emosional dan menanamkan ideologi secara halus.
Setelah minat target terbentuk, jaringan terorisme akan menghubungi mereka secara pribadi melalui platform tertutup seperti Facebook dan Telegram. Rekrutmen ini biasanya menyasar anak-anak yang rentan secara psikologis maupun sosial, seperti korban bullying, kurang perhatian keluarga, hingga mereka yang mencari jati diri.
Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menyebutkan tren peningkatan signifikan dalam rekrutmen anak. Pada 2011–2017 hanya ada sekitar 17 anak korban rekrutmen. Namun pada akhir 2024 hingga 2025, jumlah itu melonjak menjadi 110 anak. “Ada proses yang sangat masif sekali melalui media daring,” ungkapnya.
Densus 88 bersama kementerian dan lembaga terkait kini melakukan berbagai upaya pencegahan agar anak tidak kembali menjadi korban propaganda. Kolaborasi tersebut melibatkan sekolah, keluarga, hingga instansi yang bertanggung jawab terhadap perlindungan anak.
Mayndra mengimbau seluruh orang tua dan pihak sekolah untuk meningkatkan kewaspadaan, terutama dalam pemantauan aktivitas digital anak. Ia menekankan pentingnya deteksi dini agar radikalisasi bisa dicegah sebelum berkembang menjadi tindakan berbahaya.
