
Jakarta, Mata4.com — Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Panitia Kerja (Panja) Komisi VI secara resmi menyetujui perubahan 84 pasal dalam Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN). Salah satu poin yang paling mendapat sorotan dalam revisi ini adalah pelarangan rangkap jabatan oleh menteri dan wakil menteri (wamen) sebagai komisaris di BUMN.
Rapat finalisasi yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, menandai fase penting dalam penyusunan RUU BUMN yang telah dibahas sejak awal tahun. Panja menyatakan bahwa revisi ini merupakan bagian dari langkah menyeluruh untuk memperkuat tata kelola perusahaan milik negara, sekaligus menjawab berbagai kritik publik terhadap praktik manajemen BUMN selama ini.
“Kami ingin memperjelas batas antara pengambil kebijakan dan pengelola usaha negara. Menteri dan wakil menteri memiliki peran sebagai regulator, bukan operator. Karena itu, mereka tidak boleh lagi merangkap jabatan sebagai komisaris,” ujar Andi Rahman, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, kepada awak media usai rapat.
Konflik Kepentingan dan Transparansi Jadi Pertimbangan Utama
Salah satu alasan utama dibalik keputusan ini adalah upaya untuk menghilangkan konflik kepentingan yang dinilai kerap terjadi saat pejabat tinggi negara menjabat sebagai komisaris di BUMN. DPR menilai, praktik ini mengaburkan fungsi pengawasan dan rawan penyalahgunaan wewenang.
Sebagai contoh, jika seorang menteri yang menetapkan kebijakan sektoral juga duduk sebagai komisaris di perusahaan milik negara yang tunduk pada kebijakan tersebut, maka potensi ketidaknetralan sangat tinggi.
“Seseorang tidak seharusnya mengawasi dirinya sendiri. Jika pejabat publik menjadi pembuat kebijakan dan sekaligus penerima manfaat sebagai komisaris, maka pengawasan yang sehat tidak mungkin terjadi,” lanjut Andi.
Isi Revisi: Penataan Besar-Besaran Tata Kelola BUMN
Selain melarang rangkap jabatan, revisi RUU BUMN mencakup sejumlah perubahan signifikan lainnya yang mencerminkan semangat reformasi struktural. Di antara poin-poin penting revisi adalah:
- Standarisasi Rekrutmen Direksi dan Komisaris:
Pengangkatan tidak boleh didasarkan pada afiliasi politik atau pertimbangan non-profesional. Calon direksi dan komisaris harus lolos uji kompetensi, integritas, dan rekam jejak. - Kewajiban Transparansi dan Akuntabilitas:
BUMN diwajibkan menyampaikan laporan keuangan dan kinerja secara berkala kepada DPR dan publik melalui media daring. Keterbukaan ini bertujuan mencegah korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik. - Pembatasan Intervensi Politik:
BUMN tidak boleh digunakan sebagai alat politik kekuasaan. Pengelolaan perusahaan negara harus sepenuhnya berorientasi pada kepentingan bisnis dan pelayanan publik. - Penguatan Fungsi Audit Internal dan Pengawasan DPR:
DPR mendorong peningkatan efektivitas fungsi pengawasan melalui pembentukan unit audit internal yang independen dan pelibatan BPK serta KPK dalam pemantauan berkala. - Perlindungan Aset Strategis Negara:
RUU juga mengatur pengelolaan aset strategis seperti energi, infrastruktur, dan pangan agar tetap berada di bawah kendali negara dengan pengawasan ketat.
RUU BUMN yang telah diperbarui akan dibawa ke tahap pembahasan tingkat II di Rapat Paripurna DPR dan ditargetkan disahkan sebelum akhir masa sidang tahun 2025.
Tanggapan Pengamat: Langkah Positif, Tapi Perlu Implementasi Serius
Keputusan DPR menuai beragam tanggapan dari kalangan akademisi dan pengamat kebijakan publik. Dr. Rika Hariani, pakar tata kelola korporasi dari Universitas Gadjah Mada, menyebut revisi ini sebagai langkah maju dalam reformasi BUMN, terutama dalam hal penguatan prinsip good corporate governance (GCG).
“Rangkap jabatan menteri sebagai komisaris sudah lama dikritik karena melemahkan fungsi pengawasan. Larangan ini sangat penting untuk mempertegas batas antara pengambil kebijakan dan pelaksana operasional,” ujarnya.
Namun, Dr. Rika menekankan bahwa revisi undang-undang saja tidak cukup. Ia menyarankan agar pemerintah dan DPR menyusun aturan pelaksana yang rinci dan tegas, serta membangun mekanisme pengawasan yang efektif agar ketentuan ini tidak hanya berlaku di atas kertas.
Belum Ada Tanggapan Resmi dari Pemerintah
Hingga artikel ini disusun, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian BUMN maupun perwakilan pemerintah lainnya terkait hasil revisi yang disepakati DPR. Namun, dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir pernah menyatakan dukungan terhadap pembenahan tata kelola, termasuk pembatasan peran rangkap pejabat tinggi negara.
Dalam wawancara sebelumnya, Erick menyebutkan bahwa fokus kementeriannya adalah mendorong BUMN menjadi entitas bisnis profesional yang mampu bersaing secara global, sekaligus menjadi agen pembangunan nasional.
Sumber internal di lingkungan Kementerian BUMN menyebutkan bahwa pemerintah akan mengkaji lebih dalam mengenai dampak pelarangan rangkap jabatan tersebut, terutama untuk perusahaan strategis yang selama ini memiliki keterkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah pusat.
Harapan: BUMN yang Lebih Profesional, Efisien, dan Berdaya Saing
Dengan disetujuinya perubahan 84 pasal dalam RUU BUMN, DPR berharap peran BUMN ke depan akan semakin terarah dan profesional. Perusahaan milik negara diharapkan bisa menjadi mesin penggerak ekonomi nasional yang tidak hanya menghasilkan keuntungan, tetapi juga memberikan manfaat luas bagi masyarakat.
“Kita ingin BUMN menjadi institusi yang sehat, profesional, dan bebas dari intervensi yang tidak perlu. Sudah saatnya BUMN dikelola oleh para profesional, bukan oleh politisi,” tegas Andi Rahman.
Langkah DPR ini juga dipandang sebagai bentuk komitmen parlemen dalam mendorong reformasi struktural, khususnya dalam sektor ekonomi dan tata kelola perusahaan milik negara.
Kesimpulan
Revisi RUU BUMN yang disetujui DPR menandai tonggak penting dalam sejarah pengelolaan BUMN di Indonesia. Dengan pelarangan menteri dan wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris, serta penataan ulang berbagai aspek tata kelola, diharapkan BUMN dapat bertransformasi menjadi entitas yang bersih, profesional, dan berdaya saing tinggi di tengah tantangan ekonomi global.