
Jakarta, Mata4.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan keterlibatan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur, Kusnadi, dalam praktik korupsi terkait penyaluran dana hibah berbasis pokok-pokok pikiran (pokir) anggota dewan. Kusnadi diduga menerima fee senilai Rp 32,2 miliar dari total dana pokir yang dialokasikan dalam rentang waktu 2019 hingga 2022.
Temuan tersebut disampaikan langsung oleh pimpinan KPK dalam konferensi pers yang digelar pada 2 Oktober 2025 di Gedung Merah Putih, Jakarta. Menurut KPK, dugaan penerimaan fee dilakukan melalui berbagai skema, termasuk melalui transfer ke rekening istri dan staf pribadi Kusnadi, serta secara tunai melalui perantara lapangan.
Mekanisme Pokir dan Dugaan Penyimpangan
Dana hibah pokok pikiran (pokir) merupakan anggaran yang diusulkan oleh anggota legislatif untuk disalurkan kepada kelompok masyarakat atau lembaga di daerah pemilihannya. Dana ini bertujuan mendukung program pembangunan berbasis aspirasi konstituen. Namun, dalam praktiknya, menurut KPK, mekanisme ini kerap disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan politik.
Dalam kasus ini, KPK menduga Kusnadi memperoleh alokasi pokir sebesar Rp 398,7 miliar selama empat tahun menjabat. Dari total anggaran tersebut, ia diduga menerima 15 hingga 20 persen dalam bentuk fee, yang secara kumulatif mencapai Rp 32,2 miliar.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menjelaskan bahwa skema penyimpangan dilakukan secara sistematis. Setelah anggaran hibah dicairkan, sebagian dana dipotong dan dikembalikan kepada pihak pengusul. Pemotongan ini dilakukan oleh para koordinator lapangan (korlap) yang bertugas menjadi perantara antara penerima hibah dan anggota dewan.
“Ada skema di mana koordinator lapangan menerima dana hibah dari kelompok masyarakat penerima, lalu dipotong dalam jumlah tertentu, dan dikembalikan kepada oknum anggota DPRD,” ujar Alexander dalam keterangan resminya.
Aliran Dana Lewat Istri dan Staf
Lebih lanjut, KPK mengungkap bahwa aliran dana kepada Kusnadi tidak selalu dilakukan secara langsung. Sebagian dana disalurkan melalui rekening istri dan staf pribadinya, serta diserahkan dalam bentuk tunai melalui sejumlah pihak. Hal ini, menurut KPK, diduga merupakan upaya untuk menghindari pelacakan transaksi keuangan.
Sejumlah nama turut disebut sebagai perantara dalam penyaluran dana hibah, seperti:
- Hasanuddin (anggota DPRD Jatim terpilih) yang berperan sebagai koordinator di Kabupaten Gresik dan beberapa wilayah lain.
- Jodi Pradana Putra, yang diduga menjadi koordinator untuk wilayah Blitar dan Tulungagung.
- Sukar, mantan kepala desa, serta Wawan Kristiawan dan A. Royan, yang diduga turut berperan sebagai korlap.
KPK menyebut, dari total anggaran hibah yang disalurkan, hanya sekitar 55 hingga 70 persen yang benar-benar sampai ke kelompok penerima manfaat. Sisanya diduga dipotong untuk biaya administrasi fiktif dan fee kepada pengusul.
Status Hukum dan Hak Tersangka
Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, hingga artikel ini diterbitkan, Kusnadi belum ditahan. KPK menyatakan penahanan dilakukan secara bertahap, dan masih fokus pada proses pemeriksaan saksi dan pengumpulan alat bukti.
Dalam pernyataan terpisah yang dikutip dari beberapa media, Kusnadi menyatakan siap menghadapi proses hukum dan akan bersikap kooperatif. Ia juga meminta agar publik menghormati asas praduga tak bersalah sampai ada putusan hukum yang berkekuatan tetap.
“Saya siap dipanggil kapan saja oleh penyidik KPK dan akan menjalani proses ini secara terbuka,” ujar Kusnadi dalam pernyataan tertulisnya.
Pihak kuasa hukum Kusnadi juga menegaskan bahwa kliennya siap memberikan keterangan dan membuka fakta-fakta hukum yang relevan dalam penyidikan kasus ini.
Peringatan KPK dan Dampaknya terhadap Publik
Kasus ini kembali menyoroti celah rawan dalam mekanisme pokir yang belum sepenuhnya transparan. KPK mengingatkan pemerintah daerah dan DPRD di seluruh Indonesia agar meninjau ulang prosedur penganggaran dan pengawasan hibah agar tidak dimanfaatkan sebagai celah praktik korupsi.
“Kami harap ini menjadi pelajaran bagi daerah lain. Dana hibah seharusnya menjadi alat untuk pembangunan, bukan sumber keuntungan pribadi,” tambah Alexander.
Kasus ini juga mengundang reaksi dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis antikorupsi, dan tokoh masyarakat yang mendorong agar sistem pokir dievaluasi secara menyeluruh.
Menurut pengamat kebijakan publik, Dr. Ahmad Syafii, sistem pokir sering kali menjadi “ladang basah” bagi politisi yang ingin membangun kekuatan elektoral. Ia menekankan pentingnya pengawasan oleh masyarakat dan penguatan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP).
“Tanpa transparansi dan partisipasi publik, sistem pokir rentan menjadi bancakan,” ujar Syafii.
Langkah Lanjut KPK
KPK telah menetapkan 21 tersangka dalam perkara ini dan telah menahan empat di antaranya untuk 20 hari pertama masa penyidikan. KPK menyatakan akan terus mengembangkan kasus ini, termasuk menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain.
Lembaga antirasuah itu juga membuka kemungkinan penerapan pasal-pasal pencucian uang jika ditemukan indikasi penggunaan dana hasil korupsi untuk pembelian aset atau investasi pribadi.