Surabaya, Mata4.com — Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, kembali menekankan pentingnya peran orang tua, guru, dan seluruh pihak terkait dalam mengawasi anak-anak, khususnya ketika mereka bermain game online yang mengandung unsur kekerasan. Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk antisipasi terhadap dampak negatif yang dapat memengaruhi perkembangan perilaku, psikologis, dan sosial anak.
Menurut Eri, perkembangan teknologi dan industri game digital yang pesat membuat anak-anak lebih mudah mengakses berbagai permainan, termasuk yang menampilkan kekerasan secara nyata maupun simbolik. “Game dengan unsur kekerasan tidak hanya bisa memengaruhi perilaku agresif anak, tetapi juga menurunkan empati dan membentuk persepsi yang salah mengenai penyelesaian masalah,” ujar Eri saat konferensi pers di Balai Kota Surabaya, Rabu (27/11).
Dampak Kekerasan dalam Game pada Anak
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang terlalu sering terpapar konten kekerasan, baik melalui video game, film, maupun media digital lainnya, cenderung memiliki respon agresif lebih tinggi, kesulitan mengendalikan emosi, serta mengalami gangguan dalam interaksi sosial. Dr. Ratna Wulandari, psikolog anak dari Universitas Airlangga, menjelaskan:
“Anak yang terpapar kekerasan virtual tanpa pendampingan orang tua atau guru dapat meniru perilaku agresif yang mereka lihat dalam game. Hal ini bisa muncul dalam bentuk perkelahian, kata-kata kasar, atau bahkan penurunan kemampuan empati.”
Dr. Ratna menambahkan bahwa pengawasan orang tua tidak cukup hanya dengan membatasi durasi bermain. Orang tua perlu aktif berdialog dengan anak, menjelaskan konsekuensi dari perilaku agresif, serta memilih konten permainan yang sesuai dengan usia anak.
Peran Sekolah dan Pemerintah
Selain peran keluarga, Eri Cahyadi menekankan bahwa sekolah dan pemerintah memiliki tanggung jawab dalam membimbing anak di era digital. Sekolah diharapkan memasukkan literasi digital dan edukasi media ke dalam kurikulum, agar anak memahami cara memilah konten yang pantas dan tidak pantas. Sementara itu, pihak pengembang game diminta untuk menerapkan mekanisme pembatasan usia dan menghadirkan konten yang ramah anak.
Eri menekankan bahwa pengawasan ini harus bersifat kolaboratif. “Orang tua, sekolah, pemerintah, dan pengembang game harus bekerja sama. Jika semua pihak menjalankan peran masing-masing dengan baik, anak-anak dapat menikmati hiburan digital dengan aman, sekaligus tetap tumbuh menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan berkarakter,” katanya.
Data dan Tren Penggunaan Game di Indonesia
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), sekitar 60% anak Indonesia berusia 10–15 tahun rutin bermain game online, dengan sebagian besar mengakses konten yang mengandung kekerasan dalam bentuk pertarungan atau aksi kriminal. Tren ini menunjukkan perlunya pengawasan ketat dan edukasi yang tepat agar anak tidak terjerumus dalam perilaku negatif.
Selain itu, survei terbaru dari Asosiasi Game Indonesia (AGI) mencatat bahwa durasi bermain rata-rata anak-anak mencapai 3–5 jam per hari, terutama pada akhir pekan dan libur sekolah. Kondisi ini meningkatkan risiko kecanduan digital, gangguan tidur, hingga menurunnya kualitas interaksi sosial dengan keluarga dan teman sebaya.
Rekomendasi dan Solusi
Beberapa langkah yang disarankan para ahli untuk mengurangi dampak negatif game kekerasan antara lain:
- Batasi durasi bermain: Orang tua perlu membuat jadwal bermain yang sehat dan seimbang dengan aktivitas lain seperti olahraga, membaca, dan kegiatan sosial.
- Pilih konten sesuai usia: Pastikan anak hanya mengakses game yang sesuai dengan tingkat kedewasaan mereka.
- Bangun komunikasi terbuka: Ajak anak berdiskusi mengenai pengalaman bermain mereka, serta jelaskan konsekuensi dari perilaku agresif.
- Edukasi digital di sekolah: Sekolah dapat mengajarkan literasi media dan etika penggunaan internet kepada anak-anak.
- Kolaborasi dengan pengembang game: Dorong developer untuk menghadirkan konten yang aman dan fitur pembatasan usia yang efektif.
Harapan Wali Kota
Eri Cahyadi menekankan bahwa pengawasan sejak dini adalah kunci agar anak-anak tidak hanya terlindungi dari konten kekerasan, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosional, sosial, dan kreatifitas. “Kita ingin generasi muda Surabaya tumbuh menjadi individu yang berkarakter, cerdas, dan berdaya saing. Edukasi dan pengawasan orang tua serta peran aktif sekolah dan pemerintah sangat menentukan masa depan mereka,” tutup Eri.
Dengan kolaborasi dari semua pihak, Wali Kota optimistis bahwa anak-anak Surabaya dapat menikmati hiburan digital secara aman, tetap produktif, dan memiliki perkembangan mental serta sosial yang seimbang.

