Bekasi, Mata4.com – Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menilai Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pajak berkeadilan layak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan aturan perpajakan baru. Meski fatwa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, Wahyu menekankan otoritas moralnya cukup kuat di masyarakat.
Menurutnya, fatwa ini memberi sinyal bahwa terdapat praktik perpajakan yang belum mencerminkan prinsip keadilan. “Pesan dari Fatwa MUI sederhana, ada prinsip perpajakan yang tidak adil terjadi hari ini dan fatwa itu bisa jadi masukan baik bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan perpajakan berikutnya,” ujar Wahyu kepada Inilah.com, Selasa (25/11/2025).
Sorotan terhadap PBB dan Pajak Sembako
Wahyu menyoroti lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ikut jadi perhatian fatwa. Ia menilai kenaikan PBB di berbagai daerah berakar dari efisiensi anggaran pemerintah pusat, sehingga masyarakat menengah ke bawah menjadi pihak yang menanggung beban.

Ia juga mengkritisi pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok. Menurut Wahyu, kebijakan ini tidak selaras dengan tujuan pajak yang seharusnya melindungi kelompok rentan. “Pajak sembako bersifat regresif karena orang berpendapatan rendah terbebani jauh lebih banyak dibanding kelas atas,” jelasnya.
Fatwa MUI Pajak Berkeadilan
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan fatwa Pajak Berkeadilan disahkan dalam Munas MUI pada 20–23 November 2025. Fatwa ini lahir merespons keluhan masyarakat terkait kenaikan PBB yang dianggap tidak proporsional.
“Fatwa ini ditetapkan sebagai respons hukum Islam atas masalah sosial akibat kenaikan PBB yang dinilai tidak adil. Pajak seharusnya dikenakan hanya pada harta produktif atau kebutuhan sekunder dan tersier,” ujar Niam. Ia menambahkan, prinsip dasar perpajakan yang adil seharusnya mengikuti logika kemampuan finansial, analog dengan ketentuan zakat mal, dengan nishab minimal setara 85 gram emas sebagai acuan PTKP.
Selain pajak berkeadilan, Munas MUI XI juga menetapkan empat fatwa lain, yakni terkait rekening dormant, pengelolaan sampah di perairan, status saldo uang elektronik yang hilang atau rusak, serta kedudukan manfaat asuransi kematian dalam asuransi jiwa syariah.
