Jakarta, Mata4.com — Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap lima anggota DPR nonaktif sudah dapat diprediksi sejak awal. Ia menyoroti proses persidangan yang berlangsung terlalu singkat dan minim pendalaman terhadap dugaan pelanggaran kode etik.
“Saya kira keputusan MKD memang sudah bisa diduga sebelumnya. Keputusan sebagaimana dibacakan hari ini nampaknya memang sudah diniatkan sejak awal,” ujar Lucius, Kamis (6/11/2025).
Menurut Lucius, jalannya persidangan MKD menunjukkan kesan tergesa-gesa. Ia menilai hanya butuh satu hari bagi MKD untuk mendengarkan keterangan saksi dan langsung melanjutkan ke tahap pembacaan putusan. Pola ini, kata dia, menunjukkan tidak adanya ruang untuk pengujian mendalam terhadap substansi perkara.
“Karena itu mereka menyiapkan skema persidangan yang sangat sederhana. Hanya sehari rapat menghadirkan saksi-saksi, setelahnya langsung rapat pembacaan keputusan,” jelasnya.
Lucius juga menyoroti tidak adanya kesempatan bagi para terlapor untuk membela diri. Ia menegaskan bahwa dalam prinsip etik, hak pembelaan diri merupakan bagian penting yang harus dijamin dalam setiap proses persidangan.
“Bahkan saking sederhananya, tak ada waktu untuk mendengarkan pembelaan kelima anggota DPR nonaktif. Mestinya ada waktu bagi mereka untuk membela diri dari tuduhan,” tegas Lucius.
Selain soal proses, ia juga menilai MKD tidak menghadirkan pakar etik independen yang bisa memberikan pandangan objektif mengenai dugaan pelanggaran. Fokus sidang, menurutnya, justru lebih menyoroti narasi seputar hoaks ketimbang mendalami substansi perilaku yang dipersoalkan.

“Jadi kelihatan sekali kalau masalah etikanya tidak didalami sungguh-sungguh. Justru persoalan hoaks yang jadi sorotan,” kata Lucius.
Sebelumnya, MKD menggelar sidang putusan etik terhadap lima anggota DPR, yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Nasdem, Adies Kadir dari Fraksi Golkar, serta Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dan Surya Utama alias Uya Kuya dari Fraksi PAN.
Dalam putusannya, MKD menyatakan tiga anggota terbukti melanggar kode etik. Ahmad Sahroni dijatuhi sanksi nonaktif selama enam bulan tanpa menerima hak keuangan. Nafa Urbach dinonaktifkan tiga bulan, sementara Eko Patrio menerima sanksi empat bulan.
Adapun dua anggota lainnya, Adies Kadir dan Uya Kuya, dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik dan dapat kembali aktif sebagai anggota DPR. Dalam pembacaan putusan, MKD menilai tidak ada unsur kesengajaan atau niat buruk dari Uya Kuya dalam pernyataan yang sempat menuai polemik.
“Mahkamah berpendapat tidak ada niat Teradu 3 Surya Utama untuk menghina atau melecehkan siapa pun. Kemarahan terhadapnya terjadi karena adanya berita bohong bahwa ia berjoget karena kenaikan gaji,” ujar Wakil Ketua MKD Imron Amin saat membacakan putusan.
Lucius menilai keseluruhan proses ini memperlihatkan lemahnya komitmen DPR dalam menjaga integritas etik lembaga. Ia menegaskan, jika pola persidangan semacam ini terus berulang, kepercayaan publik terhadap mekanisme pengawasan internal DPR akan semakin menurun.
Menurutnya, MKD seharusnya mampu menjadikan setiap proses etik sebagai momentum untuk memperkuat moral politik, bukan sekadar formalitas penyelesaian kasus.
“Sidang etik mestinya bukan soal siapa dihukum atau tidak, tetapi bagaimana DPR menunjukkan tanggung jawab etiknya kepada publik,” pungkas Lucius.
