Bekasi, Mata4.com – Kesepakatan gencatan senjata yang seharusnya membawa ketenangan bagi warga Gaza justru berubah menjadi ironi pahit. Sejak deklarasi jeda kemanusiaan diberlakukan secara resmi pada 10 Oktober, serangan yang disebut Hamas sebagai tindakan kriminal Israel terus merenggut nyawa warga sipil. Alih-alih meredam konflik, gencatan senjata justru dibayangi deretan pelanggaran yang semakin memprihatinkan.
Hamas merilis data tragis: lebih dari 300 warga Palestina tewas sejak kesepakatan damai diumumkan. Angka ini menggambarkan rapuhnya komitmen internasional dalam menjamin keselamatan masyarakat Gaza yang sudah bertahun-tahun hidup dalam tekanan blokade dan konflik berkepanjangan.
Korban Terus Berjatuhan Meski Ada Kesepakatan
Pada Rabu (19/11/2025), Kementerian Kesehatan Gaza mencatat sedikitnya 25 orang tewas dan 77 luka-luka akibat serangan sporadis Israel di berbagai wilayah. Insiden itu menambah panjang daftar pelanggaran yang menunjukkan bahwa gencatan senjata yang dijanjikan hanyalah formalitas tanpa kepastian di lapangan.
Seperti pola yang berulang, Israel kembali mengklaim bahwa serangan dilakukan sebagai respons atas tembakan dari wilayah Gaza. Namun, Hamas menegaskan bahwa klaim tersebut tidak berdasar dan merupakan propaganda untuk membenarkan agresi yang terus dilakukan.
“Kami dengan tegas membantah klaim Zionis bahwa pasukan mereka ditembaki. Kami menganggapnya sebagai upaya lemah dan terang-terangan untuk membenarkan kejahatan serta pelanggaran sistematis yang terus mereka lakukan,” tegas juru bicara Hamas.

Pembangkangan terhadap Para Penjamin Internasional
Pelanggaran yang dilakukan Israel tidak hanya berupa serangan militer. Penghancuran rumah warga dan penutupan penyeberangan Rafah tetap terjadi. Padahal, Rafah merupakan jalur paling vital untuk masuknya bantuan kemanusiaan, obat-obatan, dan makanan ke Gaza.
Penutupan ini mencerminkan pembangkangan Israel tidak hanya kepada Hamas, tetapi juga kepada para penjamin kesepakatan yang terdiri dari tokoh-tokoh besar dunia. Kesepakatan ini awalnya mendapatkan dukungan langsung dari Presiden AS Donald Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa jaminan para pemimpin global tersebut belum mampu menghentikan penderitaan warga sipil.
Kontras Tragis Proses Pertukaran Tahanan
Sebelumnya, harapan sempat muncul ketika Hamas membebaskan seluruh 20 sandera yang masih hidup sejak peristiwa 7 Oktober 2023. Sebagai imbalannya, Israel melepaskan sekitar 2.000 tahanan Palestina, termasuk narapidana dengan hukuman jangka panjang.
Pertukaran ini menjadi momentum diplomatik bersejarah yang semestinya membuka jalan menuju stabilitas. Namun kenyataannya, proses itu justru diikuti dengan rangkaian agresi baru yang menghilangkan lebih dari 300 nyawa dalam hitungan minggu.
Bagi warga Gaza, kata “damai” kembali terdengar jauh. Sementara itu, komunitas internasional, yang selama bertahun-tahun gagal menekan pihak yang melanggar kesepakatan, kini berhadapan dengan pertanyaan mendasar:
Sampai kapan darah warga sipil akan terus menjadi harga yang harus dibayar untuk setiap janji perdamaian yang diingkari?
