Bekasi, Mata4.com — Kota Gaza kini tampak seperti wilayah yang baru saja diguncang gempa maha dahsyat. Penarikan awal pasukan Israel dari sebagian kawasan permukiman pada Jumat (10/10/2025) membuka pemandangan memilukan: kehancuran total yang nyaris tanpa sisa.
Bangunan yang dahulu berdiri megah kini hanya menyisakan puing-puing beton, baja yang terpelintir, dan debu pekat yang menutupi sisa-sisa kehidupan. Banyak warga yang kembali ke kawasan itu hanya untuk menemukan rumah mereka telah lenyap, menyisakan kenangan dan kesedihan mendalam.
Lansekap Kehancuran Total
Rekaman visual yang beredar di media sosial dan dilaporkan oleh para jurnalis independen memperlihatkan kondisi Gaza yang hancur nyaris tanpa bentuk. Jalan-jalan utama tampak dibuldoser hingga rata, kendaraan terbakar berserakan, dan jaringan listrik serta air tak lagi berfungsi.
Baca Juga:
timnas indonesia hadapi irak di kualifikasi piala dunia
Seorang jurnalis lokal menggambarkan situasi tersebut sebagai “pemandangan kiamat kecil”—di mana tak ada lagi suara kehidupan, hanya desiran angin dan debu yang berputar di antara reruntuhan.
Beberapa distrik seperti Shejaiya, Beit Hanoun, dan Khuza’a, yang sebelumnya menjadi pusat kehidupan warga sipil, kini berubah menjadi ladang reruntuhan. Bangunan sekolah, rumah sakit, hingga masjid yang selama ini menjadi simbol ketahanan warga Palestina ikut hancur tanpa ampun.
Suara dari Balik Puing
Bagi warga Gaza, kembalinya mereka ke rumah bukanlah momen bahagia, melainkan luka yang terbuka kembali.
“Saya tidak menemukan apa pun kecuali tembok yang hancur,” ujar Abdul Rahman Al-Qudra, seorang warga yang mencoba mencari sisa barang berharganya di Beit Hanoun. “Ini bukan lagi rumah. Ini kuburan dari masa lalu kami.”
Organisasi kemanusiaan internasional yang baru mulai diizinkan masuk ke sebagian wilayah melaporkan kesulitan luar biasa dalam mendistribusikan bantuan. Banyak akses jalan yang tertutup reruntuhan, sementara listrik dan komunikasi hampir sepenuhnya terputus.

Krisis Kemanusiaan Memburuk
Menurut laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), lebih dari 80 persen infrastruktur Gaza rusak berat atau hancur. Puluhan ribu warga kehilangan tempat tinggal, sementara fasilitas kesehatan nyaris lumpuh total.
Rumah sakit yang tersisa kini beroperasi di bawah tekanan besar, kekurangan obat, peralatan medis, dan tenaga kesehatan. Laporan medis menunjukkan lonjakan jumlah korban luka yang tidak tertangani secara optimal, termasuk anak-anak dan perempuan.
“Kami menghadapi krisis kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern Gaza,” ujar juru bicara UNRWA, lembaga PBB untuk pengungsi Palestina. “Butuh waktu bertahun-tahun untuk memulihkan apa yang telah hilang, jika dunia bersedia membantu.”
Reaksi Dunia Internasional
Sejumlah negara dan organisasi internasional menyerukan penghentian total kekerasan serta percepatan pengiriman bantuan kemanusiaan. Dewan Keamanan PBB dikabarkan tengah mengadakan pertemuan darurat untuk membahas langkah-langkah penanganan pascaperang.
Meski demikian, belum ada kesepakatan konkret terkait rekonstruksi maupun tanggung jawab atas kerusakan besar yang terjadi.
Negara-negara seperti Turki, Qatar, dan Indonesia telah menyatakan komitmen untuk mengirimkan bantuan darurat berupa logistik, obat-obatan, dan peralatan medis. Namun, tantangan utama tetap pada akses distribusi di lapangan yang masih tidak stabil akibat blokade dan keamanan yang belum terjamin.
Harapan yang Belum Padam
Di tengah kehancuran total, semangat warga Gaza untuk bertahan hidup masih menyala. Banyak relawan lokal mulai membersihkan puing-puing dengan alat seadanya, sementara para guru mengajar anak-anak di tenda darurat.
“Kami tidak punya apa-apa, tapi kami masih punya satu sama lain,” kata Leila Nasser, seorang guru di Rafah yang kini membuka kelas darurat untuk anak-anak pengungsi. “Selama masih ada harapan, Gaza tidak akan pernah benar-benar hilang.”
