
Jakarta, Mata4.com — Dalam beberapa tahun terakhir, wacana efisiensi anggaran menjadi salah satu prioritas utama dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Upaya pemerintah untuk memperbaiki tata kelola keuangan dan menekan pemborosan telah membawa dampak positif terhadap stabilitas fiskal nasional. Namun, di balik upaya efisiensi yang intensif, muncul fenomena yang menarik sekaligus memicu perdebatan hangat: gejala resentralisasi fiskal.
Resentralisasi fiskal, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kecenderungan pemerintah pusat untuk mengambil kembali sebagian kewenangan pengelolaan anggaran yang selama ini menjadi domain pemerintah daerah, kini mulai terasa di berbagai lapisan pemerintahan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia, terutama di tengah tekanan kebutuhan efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara.
Sejarah dan Konteks Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Untuk memahami fenomena resentralisasi fiskal, penting terlebih dahulu melihat sejarah dan perkembangan desentralisasi fiskal di Indonesia. Setelah reformasi politik pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, Indonesia secara resmi mengimplementasikan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).
Tujuan utama desentralisasi fiskal adalah:
- Meningkatkan efisiensi pelayanan publik dengan mendekatkan pengambilan keputusan kepada masyarakat lokal,
- Mempercepat pembangunan daerah,
- Memperkuat demokrasi dan partisipasi masyarakat,
- Mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia yang sangat beragam secara geografis, sosial, dan ekonomi.
Sebagai bagian dari desentralisasi, pemerintah daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab dalam mengelola keuangan daerah, termasuk mengelola pendapatan asli daerah (PAD), mengatur belanja daerah, serta memanfaatkan dana transfer dari pemerintah pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Namun, selama lebih dari dua dekade pelaksanaan, implementasi desentralisasi fiskal menghadapi berbagai tantangan. Ketimpangan kapasitas pengelolaan keuangan antar daerah, adanya praktik korupsi dan penyalahgunaan dana, serta masalah koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi isu yang berulang.
Efisiensi Anggaran: Tekanan dan Strategi Pemerintah Pusat
Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan untuk meningkatkan efisiensi anggaran semakin menguat. Berbagai kondisi ekonomi global yang tidak menentu, kebutuhan pendanaan program pembangunan prioritas, serta upaya menjaga defisit fiskal di bawah batas aman mendorong pemerintah pusat untuk melakukan reformasi pengelolaan anggaran, termasuk yang terkait dengan dana transfer ke daerah.
Beberapa strategi utama yang dilakukan pemerintah pusat antara lain:
- Optimalisasi Penggunaan Dana Transfer: Pemerintah memperketat mekanisme penyaluran dan penggunaan DAU, DAK, dan DBH melalui sistem monitoring dan evaluasi yang lebih ketat. Sistem berbasis kinerja juga mulai diadopsi, di mana daerah yang berhasil mencapai target pembangunan tertentu akan memperoleh tambahan insentif.
- Penyederhanaan Program dan Pengurangan Duplikasi: Banyak program yang tumpang tindih antara pusat dan daerah diintegrasikan atau disederhanakan agar tidak terjadi pemborosan anggaran. Contohnya, program bantuan sosial dan subsidi energi yang semula dikelola daerah mulai diambil alih oleh pusat untuk efisiensi dan pemerataan.
- Digitalisasi dan Transparansi Anggaran: Pemerintah mengembangkan platform digital untuk pelaporan anggaran daerah secara real-time, guna meningkatkan transparansi dan memudahkan pengawasan.
- Penguatan Pengawasan dan Akuntabilitas: Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dana daerah diperkuat, dengan dukungan lembaga pengawas seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Langkah-langkah ini memang berhasil meningkatkan efektivitas pengelolaan anggaran secara nasional, mengurangi pemborosan, dan menjaga stabilitas fiskal. Namun, ada konsekuensi yang mulai terlihat: penguatan kontrol pusat terhadap pengelolaan fiskal daerah, yang pada akhirnya menimbulkan gejala resentralisasi.
Gejala Resentralisasi Fiskal: Manifestasi dan Dampaknya
Resentralisasi fiskal dapat diamati dari sejumlah praktik dan kebijakan yang secara bertahap menggeser kewenangan pengelolaan anggaran dari daerah kembali ke pemerintah pusat. Beberapa contoh nyata adalah:
- Pengambilalihan Pengelolaan Program Strategis oleh Pusat: Program-program besar seperti bantuan sosial tunai, subsidi energi, serta pembangunan infrastruktur strategis kini lebih banyak dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Hal ini bertujuan untuk memastikan efektivitas dan pemerataan, tapi mengurangi peran daerah dalam menentukan prioritas lokal.
- Mekanisme Transfer Dana yang Ketat dan Berbasis Syarat: Pemerintah pusat memberlakukan persyaratan ketat untuk pencairan dana transfer, termasuk keharusan memenuhi target dan standar tertentu. Ini membatasi fleksibilitas pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran sesuai kebutuhan unik masing-masing daerah.
- Pengawasan dan Intervensi Lebih Besar dari Pemerintah Pusat: Kementerian dan lembaga pusat semakin aktif dalam memonitor dan mengevaluasi penggunaan dana di daerah, bahkan sampai tingkat perencanaan dan pelaksanaan program.
- Pengurangan Jumlah Program Daerah: Beberapa program yang selama ini menjadi domain daerah dialihkan atau digabungkan ke dalam program pusat demi mengurangi duplikasi dan meningkatkan koordinasi.
Dampak dari resentralisasi fiskal ini antara lain:
- Berkurangnya Otonomi dan Fleksibilitas Daerah: Pemerintah daerah kehilangan ruang manuver dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan yang spesifik sesuai kebutuhan masyarakat lokal.
- Penurunan Motivasi dan Inovasi Daerah: Dengan keterbatasan kewenangan, daerah menjadi kurang termotivasi untuk berinovasi atau mengoptimalkan potensi lokal.
- Ketimpangan Pembangunan yang Mungkin Meningkat: Kebijakan pusat cenderung homogen, sehingga mungkin tidak selalu cocok untuk semua daerah dengan karakteristik yang sangat beragam.
- Keterlambatan Respons terhadap Isu Lokal: Keputusan pembangunan yang harus menunggu persetujuan pusat bisa memperlambat penanganan masalah yang mendesak di tingkat lokal.

www.service-ac.id
Sudut Pandang Akademisi dan Praktisi
Berbagai ahli ekonomi dan pemerintahan memberikan pandangan yang beragam terkait fenomena ini.
- Dr. Sari Nugroho, Ekonom Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa resentralisasi bisa menjadi langkah strategis dalam konteks menjaga stabilitas fiskal dan memastikan program nasional berjalan efektif, terutama di masa krisis ekonomi atau situasi darurat. Namun, ia menekankan pentingnya mekanisme yang menjaga agar daerah tetap memiliki ruang kewenangan yang memadai.
- Prof. Bambang Setiawan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan, menyatakan bahwa desentralisasi merupakan fondasi demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Menurutnya, resentralisasi hanya boleh dilakukan dalam batas yang sangat terbatas dan harus diiringi peningkatan kapasitas daerah.
- Rina Maharani, Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia, mengingatkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses resentralisasi. “Tanpa pengawasan yang ketat, konsentrasi kekuasaan fiskal di pusat bisa memicu penyalahgunaan dan korupsi,” ujarnya.
Upaya Pemerintah dalam Menjaga Keseimbangan
Pemerintah menyadari risiko yang muncul akibat resentralisasi dan sedang mengupayakan berbagai solusi untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi dan otonomi daerah. Beberapa inisiatif yang sedang dijalankan meliputi:
- Transfer Dana Berbasis Kinerja: Sistem ini memberikan insentif tambahan bagi daerah yang mampu mencapai target pembangunan tertentu, sehingga memacu pemerintah daerah untuk bekerja lebih efektif sekaligus menjaga fleksibilitas anggaran.
- Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah: Pemerintah menyediakan pelatihan manajemen keuangan, penggunaan teknologi informasi, dan reformasi birokrasi untuk memperkuat kemampuan daerah dalam mengelola anggaran dan program pembangunan.
- Kolaborasi Pusat-Daerah dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Program: Melalui forum koordinasi dan sistem perencanaan terpadu, pemerintah berupaya memastikan sinergi kebijakan dan program antara pusat dan daerah.
- Peningkatan Teknologi Informasi untuk Transparansi: Sistem pelaporan anggaran berbasis digital dan real-time digunakan untuk memudahkan monitoring bersama dan mencegah penyimpangan.
Tantangan dan Prospek ke Depan
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tantangan besar tetap ada. Pemerintah daerah masih menghadapi kendala kapasitas SDM, keterbatasan sumber daya, dan kompleksitas regulasi yang sering berubah. Sementara itu, pemerintah pusat harus menjaga agar kebijakan fiskal tidak terlalu sentralistik sehingga menghambat pembangunan daerah.
Selain itu, dinamika ekonomi global seperti tekanan inflasi, perubahan harga komoditas, dan ketegangan geopolitik menuntut fleksibilitas dalam pengelolaan fiskal nasional. Dalam konteks ini, desentralisasi fiskal yang adaptif dan responsif sangat dibutuhkan.
Kesimpulan
Gejala resentralisasi fiskal yang muncul di Indonesia saat ini merupakan refleksi dari upaya pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara. Namun, tantangan besar terletak pada bagaimana menjaga keseimbangan antara pengendalian fiskal yang efektif dan penghormatan terhadap prinsip desentralisasi serta otonomi daerah.
Keberhasilan pengelolaan fiskal ke depan akan sangat bergantung pada sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, peningkatan kapasitas daerah, serta transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Dengan pendekatan yang seimbang, pembangunan nasional dapat berjalan secara optimal, merata, dan berkelanjutan, membawa manfaat nyata bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.