
Jakarta, Mata4.com — Pemerintah Republik Indonesia selama ini mengalokasikan subsidi energi dalam jumlah besar untuk menjaga kestabilan harga sejumlah komoditas energi penting yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Di antara komoditas tersebut, Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar, serta Liquid Petroleum Gas (LPG) tabung 3 kilogram merupakan yang paling mendapat perhatian publik.
Namun, di balik harga jual yang relatif terjangkau di SPBU maupun agen resmi, terdapat fakta menarik yang jarang diketahui masyarakat: harga sebenarnya dari produk-produk energi tersebut jauh lebih mahal jika tidak disubsidi oleh negara. Harga keekonomian atau harga riil di pasar tanpa intervensi pemerintah bisa menyentuh angka dua hingga tiga kali lipat dari harga jual saat ini.
Harga Keekonomian Tanpa Subsidi: Fakta yang Jarang Terungkap
Berdasarkan data resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berikut adalah perkiraan harga keekonomian untuk beberapa jenis energi subsidi apabila mengikuti harga pasar tanpa bantuan fiskal dari negara:
- Pertalite (RON 90): Sekitar Rp13.000–Rp14.000 per liter
- Solar (Biosolar/CN 48): Sekitar Rp14.000–Rp16.000 per liter
- LPG 3 Kg: Diperkirakan Rp35.000–Rp50.000 per tabung, tergantung wilayah dan fluktuasi harga gas internasional
Sebagai perbandingan, saat ini harga resmi Pertalite masih ditetapkan sebesar Rp10.000 per liter, dan harga Solar subsidi sebesar Rp6.800 per liter. Sementara LPG 3 kilogram umumnya dijual di kisaran Rp18.000–Rp20.000 per tabung, meski di beberapa daerah harga eceran bisa lebih tinggi karena biaya distribusi.
Komponen Penentu Harga Energi
Penetapan harga keekonomian energi ditentukan oleh sejumlah faktor, antara lain:
- Harga minyak mentah dunia (Indonesian Crude Price/ICP)
- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
- Biaya distribusi dan pengangkutan
- Margin keuntungan badan usaha penyalur
- Pajak dan pungutan lainnya
Kenaikan harga minyak mentah dunia maupun depresiasi nilai tukar rupiah dapat berdampak signifikan terhadap harga keekonomian BBM dan LPG. Oleh karena itu, tanpa subsidi pemerintah, harga energi di Indonesia akan sangat rentan terhadap fluktuasi global.
Beban Subsidi dalam Anggaran Negara
Menurut data dari Kementerian Keuangan, total subsidi dan kompensasi energi yang dianggarkan pemerintah dalam APBN 2025 mencapai lebih dari Rp336 triliun. Angka ini mencakup subsidi untuk listrik, BBM, dan LPG.
Komposisi terbesar berasal dari subsidi LPG 3 kg dan Solar, mengingat dua komoditas ini digunakan oleh masyarakat dalam jumlah besar, terutama di sektor rumah tangga, UMKM, serta transportasi dan pertanian.
“Subsidi energi adalah salah satu bentuk perlindungan negara kepada masyarakat. Namun, kita juga harus menyadari bahwa subsidi ini berasal dari uang rakyat dan harus dikelola secara bijak,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPR beberapa waktu lalu.
Tantangan Pemerintah: Menjaga Keseimbangan
Meskipun subsidi sangat membantu masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah, namun pemerintah menghadapi tantangan serius untuk menjaga keseimbangan antara kesejahteraan sosial dan keberlanjutan fiskal. Ketergantungan pada subsidi yang tinggi bisa membatasi ruang gerak negara dalam membiayai sektor lain yang juga krusial seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Selain itu, masih ditemukannya penyalahgunaan subsidi menjadi sorotan tersendiri. Tidak sedikit masyarakat golongan menengah ke atas yang juga menikmati BBM dan LPG bersubsidi karena sistem distribusi yang belum berbasis data penerima manfaat.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mengembangkan program subsidi tepat sasaran melalui digitalisasi pembelian, seperti penggunaan aplikasi MyPertamina, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan pencocokan data dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Rencana Reformasi Subsidi Energi
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai memperkenalkan rencana transformasi subsidi dari berbasis barang (komoditas) menjadi berbasis orang (targeted subsidy). Artinya, hanya masyarakat yang benar-benar berhak (berdasarkan kriteria ekonomi) yang akan menerima subsidi energi.
Langkah ini dinilai lebih adil dan efisien, meskipun tantangan implementasinya tidak kecil. Di sejumlah daerah, uji coba sistem pembelian BBM dan LPG bersubsidi menggunakan identifikasi digital sudah dilakukan, dan pemerintah terus melakukan perbaikan teknis dan sosial dalam pelaksanaannya.
“Reformasi subsidi tidak berarti mencabut bantuan untuk rakyat kecil, justru memperkuat dukungan kepada yang paling membutuhkan. Ini adalah jalan menuju keadilan sosial,” kata Direktur Jenderal Migas ESDM dalam pernyataan resmi.
Perspektif Ekonomi dan Sosial
Ekonom energi dari Universitas Indonesia, Dr. Fadhil Hasan, menyatakan bahwa subsidi energi dalam jangka panjang bisa menciptakan distorsi pasar jika tidak dikelola dengan tepat. Selain menciptakan beban fiskal, subsidi juga bisa mengurangi insentif masyarakat untuk beralih ke energi bersih atau alternatif.
Namun di sisi lain, penghapusan subsidi secara tiba-tiba juga bisa memicu gejolak sosial dan inflasi, terutama di tengah kondisi pemulihan ekonomi pasca pandemi dan tekanan global.
“Pemerintah perlu strategi bertahap, edukasi publik, dan penguatan jaring pengaman sosial jika ingin melakukan penyesuaian harga energi ke harga keekonomian,” ujarnya dalam diskusi publik.
Kesimpulan
Harga keekonomian dari BBM Pertalite, Solar, dan LPG 3 kilogram berada jauh di atas harga jual yang ditetapkan saat ini. Perbedaan ini ditutup oleh subsidi pemerintah yang bertujuan menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas harga.
Namun, ke depan, sistem subsidi perlu terus disempurnakan agar lebih efektif, adil, dan berkelanjutan, dengan memprioritaskan masyarakat miskin dan rentan sebagai penerima manfaat utama. Reformasi subsidi energi menjadi langkah penting dalam menciptakan sistem ekonomi yang sehat, sekaligus tetap memenuhi prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan konstitusi.