Jakarta, 21 Juli 2025 —Tokoh industri dan teknologi nasional, Dr. Ilham Akbar Habibie, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (China) terhadap sektor industri global dan nasional. Menurutnya, dalam konteks ekonomi dan pembangunan industri, perang dagang justru memberi tekanan yang lebih luas, kompleks, dan sistemik dibandingkan dengan konflik bersenjata yang bersifat regional.
Pernyataan tersebut disampaikan Ilham dalam sebuah forum diskusi nasional bertajuk “Strategi Membangun Kemandirian Industri Nasional di Tengah Ketidakpastian Global” yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga riset kebijakan ekonomi di Jakarta. Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan mulai dari pelaku industri, pengusaha, akademisi, pejabat pemerintah, hingga mahasiswa dan pemerhati ekonomi.
Dalam paparannya, Ilham menjelaskan bahwa perang dagang antarnegara adidaya seperti AS dan China menciptakan efek domino yang luas dan dalam terhadap struktur ekonomi global. Konflik ini tidak hanya memicu gangguan pada perdagangan antarnegara, tetapi juga memaksa negara-negara lain untuk menyesuaikan diri secara drastis dalam hal kebijakan industri, pasokan bahan baku, hingga strategi ekspor-impor.
“Perang dagang mengubah peta industri global secara fundamental. Ini bukan sekadar soal tarif impor. Yang terganggu adalah keseluruhan ekosistem industri — mulai dari logistik, pengadaan komponen, relasi antarnegara, hingga kepercayaan investor,” kata Ilham di hadapan para peserta diskusi.
Perang Dagang: Efeknya Lebih Dalam dari Konflik Bersenjata
Ilham Habibie juga membandingkan dampak perang dagang dengan konflik bersenjata. Menurutnya, konflik bersenjata memang mengganggu stabilitas suatu wilayah dan bisa menimbulkan bencana kemanusiaan, namun efek ekonominya lebih lokal. Sebaliknya, perang dagang antara negara besar seperti AS dan China membawa konsekuensi global.
“Kalau ada konflik bersenjata di satu kawasan, dampaknya cenderung terbatas secara geografis. Tapi kalau perang dagang antara dua kekuatan besar dunia, dampaknya terasa langsung ke Indonesia — ke pabrik, ke UMKM, bahkan sampai ke toko-toko ritel karena barang-barang jadi lebih mahal atau langka,” ujarnya.
Ia menguraikan bahwa sejak perang dagang AS-China memuncak pada tahun 2018 hingga saat ini, banyak negara mengalami penurunan ekspor, pembatalan kontrak kerja sama, lonjakan harga bahan baku industri, serta kesulitan mendapatkan komponen elektronik dan mesin produksi.
Rantai Pasok Global yang Terguncang
Salah satu sorotan utama Ilham adalah terganggunya rantai pasok global akibat perang dagang. Banyak perusahaan multinasional, khususnya di sektor teknologi, otomotif, dan manufaktur, harus memutar strategi karena mereka sangat bergantung pada bahan baku dan komponen dari China dan AS. Ketika kedua negara mulai saling mengenakan tarif impor dan membatasi ekspor, maka pasokan komponen pun terganggu.
“Misalnya saja industri elektronik. Banyak chip dan komponen kecil yang diproduksi di China. Tapi kalau ada pembatasan atau hambatan ekspor, maka perusahaan di Indonesia yang mengimpor komponen itu ikut terguncang,” jelas Ilham.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian yang tinggi dalam dunia usaha. Banyak pelaku industri akhirnya menunda ekspansi, merelokasi pabrik, atau mencari alternatif pasokan dari negara lain, yang pada akhirnya menimbulkan biaya tambahan dan inefisiensi.
Indonesia Harus Tingkatkan Kemandirian Industri
Menanggapi kondisi tersebut, Ilham menekankan pentingnya membangun kemandirian industri nasional. Ia menyebut bahwa ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku impor masih sangat tinggi, dan ini menjadi kelemahan struktural yang harus segera diperbaiki jika Indonesia ingin menjadi negara industri yang tangguh.
“Kita tidak boleh terus bergantung pada pasokan luar. Kita harus membangun industri dari hulu ke hilir — bukan hanya membuat produk akhir, tapi juga memproduksi komponen dan bahan bakunya. Itu butuh investasi besar, tetapi harus dimulai sekarang,” tegasnya.
Ilham menggarisbawahi bahwa pembangunan industri nasional tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor: pemerintah harus menciptakan regulasi yang mendukung, swasta harus mau berinvestasi dalam riset dan pengembangan, sementara lembaga pendidikan harus menghasilkan SDM yang kompeten dan siap pakai.
Peluang dari Relokasi Industri Global
Meski tantangan besar, Ilham juga melihat adanya peluang strategis bagi Indonesia. Perang dagang dan ketegangan AS-China mendorong banyak perusahaan global untuk memindahkan operasional produksi mereka ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ini merupakan peluang emas yang harus dimanfaatkan dengan strategi yang tepat.
“Relokasi industri itu nyata. Tapi pertanyaannya: apakah kita siap? Apakah kita punya infrastruktur, regulasi, dan tenaga kerja yang cukup kompetitif untuk menjadi pilihan utama?” katanya.
Menurut Ilham, Indonesia harus melakukan reformasi struktural agar bisa bersaing dengan negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang juga menjadi tujuan relokasi pabrik-pabrik dari luar negeri. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pasar konsumsi, bukan pemain produksi.
Percepatan Transformasi Digital dan Industri 4.0
Ilham juga mengajak pelaku industri nasional untuk serius bertransformasi ke arah digital dan otomatisasi melalui penerapan teknologi Industri 4.0. Ia menilai bahwa daya saing industri ke depan akan sangat ditentukan oleh kemampuan untuk mengadopsi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, dan robotik.
“Kita tidak bisa bersaing di pasar global dengan cara lama. Dunia berubah cepat. Kita butuh industri yang cerdas, terhubung, dan berorientasi pada efisiensi dan inovasi,” ujarnya.
Ia juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif bagi industri yang mau mengadopsi teknologi tinggi, serta menciptakan ekosistem riset dan inovasi yang lebih kuat agar industri dalam negeri tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta.
Penutup: Kolaborasi Adalah Kunci
Menutup pernyataannya, Ilham menekankan bahwa menghadapi tantangan global seperti perang dagang dan disrupsi geopolitik tidak bisa dilakukan secara sektoral. Diperlukan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil agar Indonesia mampu bertahan dan bahkan tumbuh dalam ketidakpastian global.
“Indonesia punya semua syarat untuk jadi negara industri besar: sumber daya alam, pasar yang besar, tenaga kerja muda, dan posisi geografis yang strategis. Tapi kita harus bersatu dan bergerak cepat. Kalau tidak, kita akan terus jadi korban dari konflik global yang tak kita ciptakan,” pungkas Ilham.
Menurut Ilham, perang dagang antara dua negara ekonomi terbesar dunia tersebut menyebabkan terhambatnya pasokan global dan meningkatnya harga berbagai produk manufaktur. Akibatnya, biaya produksi pun melonjak, yang pada akhirnya bisa berdampak terhadap efisiensi industri, termasuk menyusutnya kebutuhan tenaga kerja.“Itu perang dagang antara China dan Amerika. Itu kan sudah jelas. Itu yang buat rumit. Kenapa? Karena ya buat kita mungkin secara tidak langsung, tapi buat negara-negara misalnya China sendiri, dia kan masih ketergantungan kepada Amerika dan Amerika pada China sebenarnya masih ada. Tapi itu sekarang tidak bisa lagi dilakukan”
