Jakarta, Mata4.com — PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (Indocement) disebut menerima keuntungan sebesar Rp42,51 miliar dari praktik penjualan solar nonsubsidi di bawah harga dasar (bottom price), bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP).
Fakta ini terungkap dalam sidang dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) dan subholding-nya, PT Pertamina Patra Niaga (PPN), di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).
Kasus tersebut menjerat mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, yang juga pernah menjabat Direktur Pemasaran Pusat & Niaga Pertamina Patra. Ia didakwa melakukan korupsi bersama-sama dalam kebijakan tata niaga BBM industri periode 2018–2023.
Keuntungan Indocement Rp42,5 Miliar
Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), disebutkan bahwa Indocement termasuk salah satu korporasi yang diuntungkan dari penjualan solar di bawah harga seharusnya.
“Penjualan solar nonsubsidi, memperkaya korporasi sebagai berikut… nama perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk jumlah Rp42.516.537.300,”
— ujar JPU di ruang sidang, sebagaimana dikutip Sabtu (11/10/2025).
Menurut jaksa, praktik ini dilakukan dengan alasan mempertahankan pangsa pasar industri, namun tanpa memperhitungkan aspek profitabilitas atau kepatuhan terhadap pedoman tata niaga.
Harga yang diberikan kepada sejumlah pembeli, termasuk Indocement, disebut lebih rendah dari harga jual terendah (bottom price), bahkan di bawah HPP serta harga dasar solar bersubsidi.
JPU menilai tindakan tersebut mengakibatkan kerugian bagi Pertamina Patra Niaga, sementara pihak pembeli menikmati selisih keuntungan.
“Terdakwa Riva Siahaan menandatangani kontrak jual beli solar dengan harga di bawah harga dasar, yang menyebabkan Pertamina Patra Niaga menjual di bawah HPP dan bottom price,” jelas jaksa.
Dalih Pertahankan Pasar Industri
Dalam dakwaan disebutkan, kebijakan tersebut dijalankan di luar ketentuan Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga No. A02-001/PNC200000/2022-S9.
Secara internal, kebijakan itu tidak mendapatkan persetujuan formal dari direksi atau komisaris, namun tetap dijalankan dengan alasan menjaga relasi bisnis dengan sejumlah pelanggan industri besar, termasuk sektor semen dan tambang.
Profil Singkat Indocement
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk merupakan produsen semen terbesar di Indonesia, dengan produk utama Semen Tiga Roda.
Selain semen, perusahaan juga memproduksi beton siap pakai, agregat, dan tras, serta memiliki jaringan distribusi luas di seluruh Indonesia.

Sejak tahun 2001, mayoritas saham Indocement dimiliki oleh Heidelberg Materials AG, raksasa bahan bangunan asal Jerman, setelah Grup Salim melepas sebagian besar kepemilikannya.
Presiden Direktur Christian Kartawijaya, menjabat sejak 2014, dikenal sebagai profesional dengan latar belakang teknik dan keuangan. Ia juga menduduki posisi strategis di beberapa anak perusahaan Indocement.
Selain itu, Suharso Monoarfa, mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas dan politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tercatat sebagai salah satu Komisaris Indocement.
Indocement Masuk Daftar Perusahaan Diuntungkan
Kasus ini tidak hanya menyeret Indocement.
Beberapa perusahaan besar lain juga disebut ikut menikmati harga solar di bawah HPP, termasuk PT Nusa Halmahera Minerals dan PT Merah Putih Petroleum, yang masing-masing memperoleh keuntungan Rp14 miliar dan Rp256 miliar.
Baca Juga:
gus ipul terharu puisi siswa mojokerto
Skandal ini menyoroti dugaan penyalahgunaan kewenangan di tubuh Pertamina Patra Niaga, di mana kebijakan harga dilakukan secara selektif untuk sejumlah pelanggan korporasi tanpa dasar bisnis yang wajar.
Dorongan Transparansi dan Akuntabilitas
Pakar hukum energi menilai kasus ini membuka kembali wacana transparansi tata kelola BUMN sektor migas, terutama terkait mekanisme pemberian harga khusus kepada korporasi besar.
Mereka mendesak agar aparat penegak hukum mengusut seluruh pihak yang terlibat, termasuk penerima manfaat langsung dari kontrak solar murah tersebut.
Kasus ini kini masih bergulir di Pengadilan Tipikor.
Jaksa memastikan akan menghadirkan sejumlah saksi dari Pertamina, Indocement, serta kementerian terkait untuk memperjelas alur penetapan harga dan mekanisme kontrak penjualan BBM industri.
