
Jakarta, Mata4.com — Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan keprihatinan terhadap meningkatnya angka inflasi di berbagai daerah di Indonesia. Dalam pernyataan resminya, Kemendagri mendesak para gubernur di wilayah terdampak untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh serta mengambil langkah konkret dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, yang dinilai telah mulai membebani daya beli masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan menyusul rilis data inflasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan adanya lonjakan harga di beberapa provinsi, terutama pada sektor pangan, energi, dan transportasi.
Inflasi Daerah Capai Titik Mengkhawatirkan
Berdasarkan data BPS per September 2025, inflasi nasional tercatat sebesar 3,6% (year-on-year). Namun, di sejumlah daerah, angka inflasi tercatat jauh di atas angka tersebut. Beberapa provinsi seperti Papua Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat bahkan melaporkan inflasi di atas 5%, dengan komoditas seperti beras, cabai, dan minyak goreng sebagai penyumbang tertinggi.
Kepala BPS, Indra Wicaksana, menjelaskan bahwa cuaca ekstrem yang mengganggu produksi dan distribusi pangan, ditambah dengan kurangnya intervensi pasar dari pemerintah daerah, menjadi penyebab utama kenaikan harga di beberapa wilayah.
“Kenaikan harga pangan di daerah bukan hanya karena faktor pasokan, tetapi juga karena distribusi yang belum efisien dan kurangnya intervensi harga oleh pemerintah setempat,” ujar Indra dalam konferensi pers di Jakarta.
Kemendagri: Pengendalian Inflasi Bukan Hanya Urusan Pusat
Menanggapi kondisi tersebut, Kemendagri menegaskan bahwa pengendalian inflasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren yang juga menjadi kewenangan pemerintah daerah, khususnya di tingkat provinsi.
Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Dr. Iwan Kurniawan, mengatakan bahwa para gubernur harus bersikap proaktif dan tidak menunggu arahan pusat dalam menghadapi kenaikan harga yang mulai mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi lokal.
“Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Jika terjadi inflasi tinggi, mereka wajib melakukan evaluasi atas efektivitas program pengendalian harga dan distribusi kebutuhan pokok. Pemerintah daerah memiliki instrumen anggaran dan kelembagaan yang bisa digunakan untuk itu,” tegas Iwan.
TPID Diinstruksikan Aktif Kembali, Dana Tak Terduga Bisa Digunakan
Kemendagri melalui surat edaran yang dikirimkan kepada seluruh kepala daerah meminta agar Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) diaktifkan kembali secara reguler. Forum lintas sektor ini diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi gejolak harga di pasar.
Selain itu, pemerintah daerah juga diminta memanfaatkan belanja tidak terduga dan DAU fleksibel untuk menggelar operasi pasar, memberikan subsidi ongkos angkut pangan, atau bentuk intervensi lainnya sesuai kebutuhan.
“Banyak pemda tidak menyerap anggaran belanja tidak terduga, padahal itu bisa digunakan untuk hal-hal strategis seperti pengendalian harga. Jangan sampai APBD ada, tapi masyarakat tetap susah karena harga melambung tinggi,” tambah Iwan.
Dampak Inflasi Terhadap Masyarakat dan UMKM
Kenaikan harga kebutuhan pokok, meskipun terjadi secara regional, memiliki dampak langsung yang luas. Masyarakat berpendapatan rendah menjadi kelompok paling rentan karena lebih dari 70% pengeluaran mereka digunakan untuk konsumsi kebutuhan pokok.
Salah satu warga di Pontianak, Rina (35), mengaku bahwa dalam dua bulan terakhir ia harus mengurangi belanja dapur karena harga bahan makanan seperti beras dan cabai terus naik.
“Biasanya Rp250 ribu cukup untuk seminggu, sekarang tidak cukup. Cabai sudah Rp90 ribu sekilo, beras naik terus. Susah atur pengeluaran,” keluhnya saat ditemui di pasar tradisional setempat.
Tak hanya rumah tangga, pelaku UMKM, terutama sektor kuliner dan logistik, juga merasakan dampaknya. Ketua Asosiasi UMKM Indonesia, Lina Farida, meminta pemerintah daerah tidak abai terhadap kebutuhan pelaku usaha kecil.
“Kami sangat terdampak. Harga bahan naik, tapi tidak bisa langsung naikin harga jual. Akhirnya margin kami habis. Pemerintah daerah harus turun tangan, bukan hanya menunggu perintah pusat,” ujarnya.
Respons Pemerintah Pusat dan Koordinasi Lintas Sektor
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menginstruksikan seluruh kepala daerah untuk tidak hanya bergantung pada pemerintah pusat dalam pengendalian inflasi. Ia juga meminta agar kepala daerah turun langsung ke lapangan, memastikan harga dan pasokan aman, serta mencegah praktik spekulasi harga.
Kemendagri, bersama Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, dan Satgas Pangan, telah membentuk mekanisme pemantauan terpadu yang melibatkan dinas-dinas di daerah. Melalui dashboard inflasi nasional yang diakses oleh semua pemerintah daerah, setiap lonjakan harga bisa dipantau secara real-time dan direspons cepat.
Tantangan Struktural dan Kebutuhan Kebijakan Jangka Panjang
Pengamat ekonomi daerah dari Universitas Indonesia, Dr. Dian Putri Astuti, menilai bahwa inflasi di daerah bukan hanya soal distribusi dan cuaca, tetapi juga menyangkut struktur ekonomi lokal yang masih tergantung pada pasokan dari luar wilayah.
“Banyak daerah belum swasembada pangan, masih bergantung pada distribusi dari Pulau Jawa. Sekali distribusi terganggu, harga langsung naik. Ini harus dijawab dengan kebijakan jangka panjang yang memperkuat produksi lokal,” jelas Dian.
Kesimpulan: Kerja Nyata Dibutuhkan, Bukan Sekadar Instruksi
Inflasi yang tinggi di daerah tidak hanya berdampak pada angka statistik, tetapi juga langsung menyentuh kebutuhan sehari-hari masyarakat. Kemendagri menegaskan bahwa aksi nyata dari pemerintah daerah — mulai dari pemantauan harga, penguatan distribusi, intervensi pasar, hingga pemberdayaan petani lokal — sangat dibutuhkan dalam situasi ini.
Evaluasi kebijakan, pelibatan lintas sektor, serta penguatan peran TPID di setiap daerah menjadi langkah penting untuk memastikan stabilitas harga dan menjaga kesejahteraan masyarakat, terutama menjelang akhir tahun ketika permintaan biasanya meningkat.