
Jakarta, Mata4.com — Di tengah ketidakpastian global dan tekanan ekonomi yang masih terasa pasca-pandemi, Presiden Joko Widodo dihadapkan pada tantangan besar di penghujung masa jabatannya: menjaga stabilitas ekonomi nasional dengan memastikan situasi politik tetap terkendali. Sejumlah pengamat menilai bahwa menjelang pergantian kepemimpinan nasional pada 2024 lalu, hingga memasuki semester kedua 2025, suhu politik cenderung meningkat, dan hal itu bisa mengganggu arah kebijakan ekonomi nasional.
Meskipun secara makro ekonomi Indonesia menunjukkan tren positif – dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 mencapai 5,2 persen, inflasi terkendali di angka 2,8 persen, dan cadangan devisa stabil – sejumlah indikator menunjukkan kerentanan. Ketegangan politik yang mengemuka sejak awal tahun dinilai mulai mempengaruhi kepercayaan pasar, terutama di sektor investasi dan keuangan.
Gejolak Politik Mengancam Stabilitas
Situasi politik belakangan ini diwarnai oleh berbagai polemik, mulai dari dinamika di parlemen, ketegangan antara pemerintah pusat dan beberapa kepala daerah, hingga isu-isu strategis nasional yang mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Friksi antara partai politik pendukung pemerintah dan oposisi turut memperkeruh suasana, apalagi di tengah isu reshuffle kabinet serta tarik-menarik kepentingan menjelang Pilkada Serentak akhir tahun ini.
Menurut Direktur Eksekutif Indodata Institute, Dr. Arman Hidayat, stabilitas politik merupakan faktor utama yang mendasari ketahanan ekonomi. Ia menekankan bahwa tanpa kepastian politik, program-program pemulihan ekonomi dan reformasi struktural bisa terhambat. “Ekonomi itu sangat bergantung pada ekspektasi. Jika pelaku pasar dan masyarakat tidak yakin terhadap arah politik dan kepemimpinan, maka roda ekonomi bisa melambat,” kata Arman saat dihubungi, Rabu (30/7).
Pesan dari Dunia Usaha dan Investor
Pelaku usaha dan investor mulai menyuarakan harapan agar Presiden Jokowi bersikap lebih tegas dalam menjaga kohesi politik nasional. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, mengatakan bahwa dunia usaha membutuhkan kepastian dan konsistensi regulasi untuk terus bergerak. “Kami mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Tapi semua itu sangat bergantung pada bagaimana stabilitas politik dijaga. Jangan sampai kondisi politik membuat investor ragu,” ujarnya dalam konferensi pers pekan lalu.
Hal senada juga disampaikan oleh para pelaku pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami tekanan dalam beberapa pekan terakhir, sebagian analis mengaitkannya dengan meningkatnya ketegangan di level elite politik. Nilai tukar rupiah pun sempat terdepresiasi tipis terhadap dolar AS, meskipun Bank Indonesia masih mampu menjaga intervensi secara efektif.

www.service-ac.id
Respons Pemerintah: Jokowi Ajak Semua Pihak Menahan Diri
Menanggapi situasi tersebut, Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan mengajak semua pihak, baik di lingkaran pemerintahan maupun oposisi, untuk menjaga situasi tetap kondusif demi kepentingan nasional. Dalam pidatonya di Rakornas Forkopimda di Jakarta awal Juli lalu, Jokowi menegaskan pentingnya stabilitas menjelang transisi pemerintahan dan Pilkada Serentak 2025.
“Pembangunan ekonomi tidak bisa lepas dari kestabilan politik dan keamanan. Jangan karena perbedaan pandangan politik, kita mengorbankan kepentingan rakyat dan masa depan negara,” tegas Jokowi.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan bahwa pemerintah terus menjaga koordinasi lintas sektor untuk mengantisipasi gejolak yang mungkin muncul. “Pemerintah tetap fokus menjalankan program strategis, seperti hilirisasi industri, pengembangan energi baru-terbarukan, dan penguatan ekonomi digital. Kita pastikan tidak ada gangguan terhadap program prioritas,” ujarnya.
Menjaga Warisan dan Menyiapkan Transisi
Sebagai presiden dua periode yang telah memimpin sejak 2014, Jokowi tentu ingin meninggalkan warisan yang baik, tidak hanya dari sisi pembangunan fisik seperti infrastruktur, tetapi juga dari segi fondasi ekonomi dan stabilitas politik. Transisi kekuasaan ke pemerintahan baru, yang dipimpin Presiden terpilih Prabowo Subianto, menjadi momentum krusial yang harus dijaga agar tidak menimbulkan kekacauan.
Para analis menilai, Jokowi memiliki peran strategis sebagai figur pemersatu yang mampu meredam potensi konflik dan menjaga keseimbangan kepentingan berbagai kelompok. “Presiden harus memainkan peran sebagai stabilisator. Bila perlu, inisiasi dialog nasional antar elite politik dilakukan agar semua pihak punya komitmen menjaga suasana tetap damai,” ujar pengamat politik LIPI, Fitria Mahyuni.
Kesimpulan: Stabilitas Politik adalah Kunci
Menjaga kestabilan politik bukan hanya soal menjaga nama baik di akhir masa jabatan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan pembangunan dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Dengan waktu yang tersisa, Jokowi dituntut untuk lebih proaktif, tidak hanya dalam mengawal agenda ekonomi, tetapi juga dalam meredam ketegangan politik yang berpotensi mengganggu fondasi bangsa.
Tanpa stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dengan susah payah bisa terganggu. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis yang inklusif dan dialogis diperlukan, agar Indonesia tidak hanya bertumbuh secara ekonomi, tetapi juga matang dalam berdemokrasi.