
Jakarta, Mata4.com – Di usia senjanya yang ke-84 tahun, seniman kawakan Tanah Air H. Jaja Miharja mendapat penghargaan tertinggi dari negara: Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma, langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Upacara penghargaan berlangsung khidmat di Istana Negara, di mana Jaja hadir dengan senyum bahagia meski duduk di kursi roda. Ia tak bisa menyembunyikan rasa haru, bangga, dan syukurnya atas momen bersejarah tersebut.
Dapat Kabar Mendadak: “Saya Langsung Jahit Baju!”
Dalam wawancara dengan beberapa media, Jaja mengaku mendapatkan kabar penganugerahan ini secara mendadak, hanya dua hari sebelum acara. Kabar tersebut datang langsung dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang meneleponnya secara pribadi.
“Saya pikir bercanda. Tapi ternyata benar, saya akan dapat tanda kehormatan dari Presiden. Saya langsung bilang ke tukang jahit, ‘Cepat jahit baju buat saya ke Istana!’,” ucap Jaja sambil tertawa.
Tak ingin tampil sembarangan di depan kepala negara, Jaja memesan pakaian formal khusus, yang dikerjakan lembur oleh penjahit langganannya dalam waktu singkat. Ia ingin memastikan dirinya hadir dalam keadaan terbaik—walau tubuhnya kini tak sekuat dulu.
Bertemu Prabowo: “Saya Ditepuk dan Disemangati Presiden”
Bagi Jaja Miharja, penghargaan ini bukan hanya soal seremoni. Ia merasa sangat tersentuh ketika menerima penghargaan itu langsung dari Presiden Prabowo, yang juga menyempatkan diri menyemangatinya.
“Saya ditepuk pundak dan Presiden bilang, ‘Lanjutkan!’ Itu artinya beliau mengapresiasi apa yang sudah saya kerjakan dan berharap saya tetap semangat. Saya sangat tersentuh,” ujar Jaja.
Presiden Prabowo sendiri memberikan penghargaan kepada total 141 tokoh dari berbagai bidang—termasuk dunia seni, budaya, ilmu pengetahuan, militer, hingga kesehatan—sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Momen Haru: “Saya Tahan Air Mata, Ini Kehormatan Luar Biasa”
Ketika namanya dipanggil untuk menerima Bintang Budaya Parama Dharma, Jaja yang kini menggunakan kursi roda, dibantu untuk maju ke depan. Di tengah tatapan para tokoh penting negara, ia menerima lencana tanda kehormatan yang disematkan langsung oleh Presiden.
“Saya ingin menangis, tapi saya tahan. Saya merasa sangat terhormat. Ini bukan sekadar penghargaan, ini pengakuan bahwa perjuangan saya di dunia seni dihargai negara,” katanya lirih, matanya berkaca-kaca.
Jaja juga menyebut bahwa ini adalah buah dari kerja keras dan konsistensinya berkarya selama lebih dari 60 tahun, sejak awal mula kariernya di dunia Orkes Melayu.

www.service-ac.id
Perjalanan Panjang Seorang Jaja Miharja
Nama Jaja Miharja sudah tak asing bagi masyarakat Indonesia lintas generasi. Ia memulai karier dari dunia musik sebagai penyanyi orkes melayu pada era 1960-an. Gayanya yang khas, logat Betawi kental, dan karakter suara serak-serak basah membuatnya cepat dikenal. Namun Jaja tidak berhenti di musik.
Ia lalu melebarkan sayap ke dunia perfilman dan televisi. Tercatat, Jaja telah membintangi lebih dari 50 judul film, sebagian besar pada masa keemasan film Indonesia di tahun 70–80-an. Perannya sebagai ayah, tokoh komedi, hingga karakter antagonis tak jarang menjadi sorotan.
Puncaknya, popularitas Jaja melejit sebagai presenter kuis legendaris “Fakta atau Fiktif” yang tayang di TVRI pada era 1990-an. Gaya bertanyanya yang penuh kelakar dengan jargon “Ooo… begitu ya?” hingga kini masih dikenang banyak orang.
Namun di balik popularitasnya, Jaja tak lepas dari perjuangan berat. Ia pernah mengaku sempat dibayar hanya dengan telur asin saat awal-awal tampil menyanyi. Bahkan, di masa tuanya, kesehatannya sempat menurun drastis akibat stroke ringan yang membuatnya harus bergantung pada kursi roda.
“Saya pernah dibayar telur asin dan nasi bungkus. Tapi saya terus jalan, terus kerja, karena saya cinta dunia seni,” kenangnya.
Bukan Sekadar Kaget, Tapi Gembira dan Terharu
Saat ditanya bagaimana perasaannya saat menerima penghargaan ini, Jaja menjawab dengan kalimat yang mencerminkan kejujuran dan kebesaran hati:
“Kalau dulu saya mungkin kaget. Tapi sekarang bukan kaget lagi, tapi gembira. Gembira luar biasa. Ini anugerah yang enggak saya duga. Alhamdulillah.”
Ia pun berharap penghargaan ini menjadi motivasi bagi generasi muda untuk terus berkarya dan mencintai kebudayaan Indonesia. Jaja juga berharap agar pemerintah semakin banyak memberikan perhatian kepada para seniman yang telah mengabdi puluhan tahun, namun kerap luput dari penghargaan.
Presiden Prabowo: “Budaya adalah Napas Bangsa”
Dalam pidatonya saat upacara, Presiden Prabowo menyampaikan bahwa penghargaan ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk komitmen pemerintah terhadap penguatan budaya nasional.
“Budaya adalah napas bangsa. Tanpa budaya, Indonesia tidak akan punya jati diri. Maka, mereka yang menjaga dan merawat budaya adalah pahlawan sesungguhnya,” ucap Presiden Prabowo.
Pernyataan itu disambut tepuk tangan para tamu undangan yang hadir, termasuk para seniman senior seperti Christine Hakim, Titiek Puspa, dan Djaduk Ferianto, yang juga menerima penghargaan serupa.
Penutup: Jaja Miharja, Sebuah Ikon yang Tetap Bersinar
Meski kini harus berjalan pelan dan dibantu kursi roda, sinar Jaja Miharja tak pernah redup. Sosoknya yang rendah hati, penuh canda, dan tetap semangat, menjadi teladan bagi banyak orang.
Tanda Kehormatan dari Presiden Prabowo menjadi simbol pengakuan resmi negara terhadap jasa besar Jaja dalam membangun seni dan budaya Indonesia.
Di akhir wawancara, Jaja menutup dengan kalimat sederhana yang penuh makna:
“Hidup saya mungkin tak sempurna, tapi saya bersyukur bisa menghibur dan membahagiakan banyak orang. Itu saja cukup.”