Jakarta, 15 Juli 2025 — Kejaksaan Agung Republik Indonesia resmi menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan laptop berbasis Chromebook di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Penetapan ini dilakukan setelah penyidik mengantongi bukti permulaan yang cukup atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proyek pengadaan tersebut, yang berlangsung pada kurun waktu 2019 hingga 2022.
Dalam pernyataan resminya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, menyampaikan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah proses penyelidikan dan pemeriksaan mendalam terhadap lebih dari 80 saksi dan beberapa ahli.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan dan alat bukti yang ada, Kejaksaan Agung menetapkan empat orang tersangka yang diduga terlibat dalam proses pengadaan laptop Chromebook yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah signifikan,” ujar Febrie dalam konferensi pers di Gedung Bundar, Jakarta.
Para Tersangka
Empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini adalah:
- SW (Sri Wahyuningsih) – Mantan Direktur Sekolah Dasar Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek.
- MUL (Mulyatsyah) – Mantan Direktur SMP Kemendikbudristek.
- JT (Jurist Tan) – Staf khusus Mendikbudristek pada masa itu, yang saat ini berada di luar negeri dan telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
- IA (Ibrahim Arief) – Konsultan teknologi yang terlibat dalam proses penyusunan spesifikasi teknis Chromebook.
Tiga dari empat tersangka saat ini telah ditahan guna mempercepat proses penyidikan. Satu tersangka lainnya, yaitu Jurist Tan, belum diamankan karena sedang berada di luar negeri. Kejaksaan menyatakan telah melakukan koordinasi dengan otoritas imigrasi dan interpol untuk proses penjemputan paksa jika diperlukan.
Dugaan Penyimpangan
Menurut Kejaksaan, proyek pengadaan Chromebook diduga tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dan transparansi. Beberapa pihak diduga sengaja mengarahkan spesifikasi teknis agar menguntungkan vendor tertentu. Selain itu, proses perencanaan dan pelaksanaan proyek juga diduga dilakukan tanpa kajian menyeluruh mengenai kebutuhan dan infrastruktur teknologi di sekolah-sekolah penerima.
“Ini bukan hanya soal penyimpangan administratif, tapi juga soal pengkhianatan terhadap semangat digitalisasi pendidikan. Ini menyangkut hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak,” ujar Febrie.
Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 1,9 triliun, berdasarkan audit awal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Langkah Lanjutan
Kejaksaan Agung menegaskan akan terus mengembangkan kasus ini dan tidak menutup kemungkinan menetapkan tersangka tambahan jika ditemukan keterlibatan pihak lain. Proses hukum dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, dan mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Dalam keterangannya, Kejaksaan juga membantah spekulasi bahwa mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim ikut terseret dalam kasus ini. Hingga kini, Nadiem berstatus sebagai saksi dan telah memenuhi dua kali panggilan pemeriksaan.
