
Jakarta, 23 Juli 2025 — Perkembangan teknologi telah membawa manusia ke era baru, di mana kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) hadir tidak hanya dalam industri dan layanan publik, tapi juga di dalam rumah tangga, ruang kelas, hingga mainan anak-anak. AI kini tidak lagi sekadar teknologi masa depan — ia telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan anak-anak.
Namun, di balik kemudahan dan kecanggihan yang ditawarkan, semakin banyak pihak yang mulai mempertanyakan dampak jangka panjang dari interaksi anak dengan teknologi ini. Para ahli menyoroti bahwa AI bisa menjadi pisau bermata dua, yang di satu sisi membuka akses terhadap pendidikan dan hiburan, tapi di sisi lain menimbulkan risiko serius terhadap kesehatan mental, etika, dan keamanan anak.
Teknologi AI Sudah Dekat dengan Anak-Anak
Tanpa disadari, anak-anak saat ini telah dikelilingi oleh sistem berbasis AI sejak usia dini. Beberapa contoh penggunaan AI yang sering ditemui dalam kehidupan anak-anak antara lain:
- Asisten virtual seperti Siri, Alexa, dan Google Assistant, yang menjawab pertanyaan mereka dengan suara ramah.
- Aplikasi edukasi berbasis adaptif AI, yang menyesuaikan materi belajar berdasarkan kecepatan dan pola anak.
- Mainan pintar (smart toys) yang bisa mengobrol dengan anak dan belajar dari respons mereka.
- YouTube Kids dan media sosial anak, yang menampilkan konten berdasarkan algoritma preferensi.
Meski terlihat membantu, semua sistem tersebut bekerja berdasarkan data dan algoritma, bukan nilai moral atau pertimbangan etika. Inilah yang menjadi perhatian banyak pihak: Apakah kita sudah cukup siap membiarkan anak-anak tumbuh bersama sistem yang belum tentu memahami batasan perkembangan anak?
Ancaman Nyata: Apa Saja Bahaya yang Mengintai?
1. Konten Tidak Pantas dan Tidak Terfilter
Algoritma AI pada platform video seperti YouTube Kids kadang-kadang gagal menyaring konten dengan baik. Ada kasus di mana anak-anak disuguhi video animasi dengan unsur kekerasan, seksualitas terselubung, atau konten “deep fake” yang memanipulasi suara dan wajah karakter populer secara tidak etis.
2. Ketergantungan Psikologis dan Perubahan Pola Pikir
Studi dari University of Cambridge pada 2024 menemukan bahwa anak-anak yang terlalu sering menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas (misalnya menjawab PR lewat chatbot) mengalami penurunan kemampuan berpikir kritis dan logika mandiri. Anak menjadi terbiasa menerima jawaban instan tanpa proses eksplorasi.
3. Pengumpulan dan Penyalahgunaan Data Pribadi
Sebagian besar teknologi AI bekerja dengan mengumpulkan data — baik itu rekaman suara, lokasi, hingga kebiasaan penggunaan aplikasi. Data ini bisa digunakan oleh perusahaan untuk kepentingan iklan atau bahkan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sangat berbahaya jika terjadi pada anak yang belum paham pentingnya privasi digital.
4. Simulasi Sosial yang Keliru
Mainan atau aplikasi yang “mengobrol” dengan anak, seperti boneka AI atau karakter game cerdas, bisa membuat anak bingung membedakan interaksi sosial nyata dan buatan. Mereka bisa belajar pola komunikasi yang tidak sehat, atau terlalu percaya pada karakter virtual yang sebenarnya hanyalah sistem otomatis.
5. Potensi Eksploitasi dan Manipulasi Emosi
AI dapat digunakan untuk menganalisis ekspresi wajah dan suara anak untuk memanipulasi respons mereka. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh pengembang untuk mendorong anak membeli sesuatu di dalam aplikasi (in-app purchase) atau menonton konten lebih lama, tanpa pemahaman bahwa mereka sedang “dimainkan” oleh sistem.
Apa Kata Para Pakar?
Dr. Diah Kurniasari, pakar psikologi perkembangan anak dari Universitas Gadjah Mada, menyebutkan bahwa AI memiliki potensi membentuk perilaku anak secara sistematis dan halus.
“Anak-anak adalah pengguna yang paling mudah dibentuk. AI bisa memberikan pengalaman positif, tapi juga bisa memprogram ulang cara mereka berpikir dan berinteraksi jika digunakan secara berlebihan atau tidak diawasi,” jelasnya dalam seminar nasional bertajuk “Etika Teknologi dan Anak-anak” di Yogyakarta, Mei 2025.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan kekhawatiran atas banyaknya aduan dari orang tua yang mengeluhkan perubahan perilaku anak sejak terlalu sering menggunakan perangkat dengan AI. Mulai dari emosi yang labil, ketergantungan gadget, hingga menurunnya interaksi sosial di dunia nyata.
Bagaimana Melindungi Anak? Ini Langkah Pentingnya
Pakar teknologi dan psikolog anak menyarankan sejumlah langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua dan pendidik:
- Selalu dampingi anak saat menggunakan perangkat digital. Jangan hanya memberi gawai tanpa pengawasan.
- Gunakan parental control. Banyak platform kini menyediakan fitur kontrol orang tua yang bisa menyaring konten berdasarkan usia.
- Batasi waktu layar (screen time). Terapkan aturan yang tegas namun fleksibel untuk menjaga keseimbangan aktivitas digital dan fisik.
- Ajarkan anak mengenali privasi digital. Anak perlu tahu bahwa tidak semua hal boleh dibagikan secara online.
- Libatkan anak dalam percakapan tentang AI. Kenalkan konsep AI secara sederhana dan ajarkan nilai-nilai kritis terhadap teknologi.
Regulasi Masih Tertinggal
Hingga kini, Indonesia belum memiliki regulasi spesifik terkait perlindungan anak dari dampak kecerdasan buatan. Beberapa aturan yang ada, seperti UU Perlindungan Anak dan UU ITE, belum menyentuh isu algoritma, pengumpulan data anak, dan desain sistem yang memanipulasi perilaku.
Pakar hukum digital, Prof. Amir Subekti, menyebutkan bahwa diperlukan kerangka hukum baru yang secara spesifik mengatur interaksi antara anak dan sistem AI, termasuk sertifikasi khusus untuk aplikasi dan produk digital ramah anak.
“Negara tidak boleh kalah cepat dari teknologi. Kalau anak-anak kita dibiarkan berinteraksi bebas dengan sistem AI tanpa batas, maka kita sedang menyiapkan generasi yang rentan secara psikologis dan etis,” tegasnya.
Kesimpulan: AI Adalah Alat, Bukan Pengasuh
Teknologi kecerdasan buatan memang membawa kemajuan besar dalam dunia pendidikan, hiburan, dan interaksi sosial. Namun, bagi anak-anak, AI bukanlah teman bermain atau guru sejati. Ia hanyalah alat — dan seperti alat lainnya, harus digunakan dengan bijak, diawasi, dan dibatasi.
Anak-anak perlu ruang untuk berkembang secara alami: belajar dari pengalaman, gagal, berinteraksi langsung, dan bertanya pada manusia — bukan sekadar mengandalkan jawaban instan dari mesin.
Masa depan anak-anak ada di tangan kita. Jangan biarkan AI membentuk mereka tanpa kendali. Karena teknologi boleh cerdas, tapi nilai dan karakter tetap harus ditanamkan oleh manusia.