Tokyo, 11 Juli 2025 — Ketegangan antara China dan Jepang kembali mencuat setelah terjadi insiden udara di kawasan sengketa Laut China Timur, Selasa (9/7). Kementerian Pertahanan Jepang menyatakan bahwa sebuah jet tempur milik Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) terbang dalam jarak dekat dengan pesawat patroli Jepang yang sedang menjalankan misi pengawasan rutin.
Menurut pernyataan resmi dari pihak Jepang, insiden terjadi di wilayah udara internasional dekat Kepulauan Senkaku—wilayah yang dikuasai Jepang namun juga diklaim oleh China dengan nama Diaoyu. Pemerintah Jepang menilai manuver jet tempur China sebagai “berbahaya dan tidak profesional”.
“Jet tempur J-16 milik China terbang dalam jarak sekitar 30 meter dari pesawat P-3C Orion milik Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF). Manuver ini sangat berisiko dan dapat memicu eskalasi,” ungkap juru bicara Kementerian Pertahanan Jepang dalam konferensi pers, Rabu (10/7).
Sebagai respons, Jepang mengerahkan dua unit jet tempur F-15 untuk mengawal pesawat patroli kembali ke pangkalan. Tidak ada laporan mengenai kerusakan atau korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan China memberikan versi berbeda. Dalam pernyataan yang dimuat media resmi pemerintah, otoritas China menyebut bahwa pesawat Jepang memasuki wilayah udara yang mereka klaim sebagai bagian dari kedaulatan China. Mereka menyatakan bahwa jet tempur mereka melakukan tindakan pencegahan yang sah dan tidak memicu risiko apapun.
“Penerbangan jet tempur kami merupakan respons atas provokasi pesawat pengintai asing yang melanggar wilayah udara China. Kami mendesak Jepang untuk menghentikan tindakan yang membahayakan stabilitas regional,” demikian pernyataan dari juru bicara militer China.
Seruan Internasional untuk Menahan Diri
Insiden ini memicu perhatian dari sejumlah negara di kawasan. Amerika Serikat, melalui pernyataan Kementerian Luar Negeri, menyatakan keprihatinan atas kejadian tersebut dan menyerukan kepada kedua negara untuk menahan diri.
“Transparansi dan komunikasi antar pihak sangat penting untuk mencegah kesalahpahaman yang dapat memicu konflik lebih luas,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Wilayah Sengketa yang Rawan
Kepulauan Senkaku/Diaoyu telah lama menjadi sumber perselisihan antara Jepang dan China. Meskipun dikuasai Jepang sejak 1972, China tetap mengklaim kepemilikan historis atas kepulauan tak berpenghuni tersebut. Konflik kerap terjadi di udara maupun laut, dengan masing-masing negara melakukan patroli secara berkala.
Para analis menilai insiden seperti ini berpotensi meningkatkan risiko militer di kawasan yang sudah sensitif.
“Ketegangan ini harus dikelola dengan dialog terbuka dan saluran komunikasi militer yang aktif. Jika tidak, satu insiden kecil saja dapat berkembang menjadi krisis yang lebih besar,” ujar Dr. Hideaki Yamamoto, pakar keamanan Asia Timur dari Universitas Tokyo.
Upaya Diplomatik
Hingga berita ini diturunkan, Jepang telah melayangkan nota protes diplomatik kepada pemerintah China. Belum ada konfirmasi resmi mengenai adanya komunikasi langsung antara pejabat tinggi kedua negara pasca-insiden.
Pemerhati hubungan internasional menyerukan agar kedua pihak menempuh jalur diplomasi dan menjunjung prinsip hukum internasional demi menjaga stabilitas kawasan.
