
Jakarta, 26 Juli 2025 – Pertanyaan sederhana “Kapan nikah?” kerap menjadi momok menakutkan bagi banyak anak muda Indonesia. Meski terdengar biasa, pertanyaan ini kerap menimbulkan tekanan sosial yang cukup besar, bahkan hingga berdampak pada kesehatan mental dan keputusan hidup mereka. Di era modern dengan perubahan nilai dan gaya hidup yang terus berkembang, semakin banyak anak muda yang memilih menunda menikah. Alasan mereka beragam, mulai dari kesiapan finansial, karier, hingga tekanan dari norma sosial yang dianggap kurang relevan bagi mereka.
Tren Menunda Menikah Meningkat Signifikan
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren penundaan menikah di kalangan generasi muda Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2023, tercatat sekitar 68,29% pemuda usia produktif (20-35 tahun) masih berstatus belum menikah, dibandingkan dengan angka 44,45% pada 2014. Angka ini menggambarkan pergeseran nilai dan prioritas generasi milenial dan Gen Z yang cenderung lebih memilih mengutamakan karier dan pengembangan diri sebelum berkomitmen dalam pernikahan.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan akses informasi yang lebih mudah, anak muda kini semakin kritis dalam mengambil keputusan, termasuk soal pernikahan. Mereka lebih banyak mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dan memilih untuk menunda jika merasa belum siap sepenuhnya.
Kesiapan Finansial: Hambatan Utama
Salah satu alasan terbesar anak muda menunda menikah adalah ketidakpastian finansial. Biaya hidup yang semakin tinggi dan tuntutan gaya hidup modern menjadi beban yang harus dipikirkan matang-matang sebelum menikah. Survei oleh IDN Research Institute mengungkapkan bahwa sekitar 68% anak muda merasa penting untuk memiliki kestabilan ekonomi sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
Dina, seorang pekerja profesional berusia 28 tahun dari Jakarta, menceritakan pengalamannya:
“Saya sering mendapat tekanan dari keluarga kapan menikah. Tapi saya belum merasa siap secara finansial. Saya ingin bisa mandiri dan punya tabungan cukup sebelum memulai keluarga sendiri.”
Ketidakpastian ekonomi, termasuk fluktuasi pekerjaan dan penghasilan, membuat banyak anak muda ragu untuk mengambil langkah besar seperti menikah.
Fokus pada Pendidikan dan Karier
Selain alasan finansial, fokus pada pendidikan dan pengembangan karier juga menjadi pertimbangan penting. Banyak generasi muda yang ingin menuntaskan pendidikan tinggi, mengikuti pelatihan profesional, atau mengejar impian karier sebelum menikah.
Rudi, pria berusia 30 tahun dari Surabaya, berbagi cerita:
“Saya merasa menikah adalah tanggung jawab besar. Karena itu, saya ingin memastikan karier saya sudah stabil dan saya siap secara mental sebelum membangun rumah tangga.”
Tren ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan lagi dianggap sebagai keharusan atau tujuan utama, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang harus direncanakan dengan matang.
Kekhawatiran Terhadap Risiko Perceraian
Angka perceraian yang cenderung meningkat juga menjadi faktor yang membuat anak muda berpikir ulang untuk menikah. Banyak dari mereka yang takut mengalami kegagalan rumah tangga dan memilih menunda pernikahan sampai merasa benar-benar siap.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka perceraian di Indonesia mencapai 300 ribu kasus per tahun, yang sebagian besar terjadi pada pasangan muda. Kekhawatiran ini membuat anak muda lebih berhati-hati dalam memilih pasangan dan memastikan kesiapan emosional sebelum menikah.
Tekanan Sosial dan Budaya yang Membebani
Di Indonesia, tekanan sosial berupa pertanyaan “Kapan nikah?” biasanya datang dari keluarga besar, kerabat, bahkan lingkungan sekitar. Meskipun sering dianggap sebagai bentuk perhatian, bagi sebagian anak muda, pertanyaan ini justru menimbulkan tekanan dan rasa tidak nyaman.
Siti, mahasiswi berusia 24 tahun dari Yogyakarta, mengaku sering merasa tertekan:
“Kalau ketemu keluarga besar, pasti ditanya kapan nikah. Saya jadi merasa tidak cukup baik kalau belum punya pasangan. Padahal saya ingin fokus dulu menyelesaikan studi.”
Tekanan ini kadang membuat mereka merasa terpaksa mengambil keputusan yang belum siap secara pribadi.
Dampak Psikologis dari Tekanan Pernikahan
Tekanan untuk menikah yang datang dari lingkungan sosial tidak jarang berdampak pada kesehatan mental anak muda. Rasa stres, cemas, bahkan depresi bisa muncul akibat tekanan yang terus-menerus, terutama bila tidak ada dukungan emosional yang memadai.
Psikolog klinis Dr. Rina Wardhani menjelaskan:
“Tekanan sosial seperti ‘kapan nikah?’ jika tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan gangguan psikologis. Anak muda perlu diberi ruang untuk menentukan pilihan hidup mereka tanpa merasa terbebani.”
Penting bagi keluarga dan masyarakat untuk lebih memahami dan memberikan dukungan positif, bukan sekadar menuntut.
Perubahan Paradigma: Menikah Sesuai Kesiapan, Bukan Tekanan
Perubahan sosial dan pandangan generasi muda tentang pernikahan membuka peluang untuk redefinisi norma. Anak muda kini lebih mengedepankan kesiapan mental, emosional, dan finansial sebagai dasar menikah, bukan hanya karena tekanan sosial atau norma budaya.
Kunci keberhasilan pernikahan adalah kualitas hubungan dan kesiapan masing-masing individu. Oleh sebab itu, menunda menikah bisa menjadi pilihan yang bijak bagi yang belum siap.
Peran Keluarga dan Masyarakat
Untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan mendukung bagi anak muda, keluarga dan masyarakat perlu menyesuaikan cara pandang mereka. Menghormati pilihan anak muda dan memberikan dukungan bisa membantu mengurangi tekanan dan membangun kepercayaan diri mereka dalam mengambil keputusan.
Keluarga bisa memulai dengan membuka dialog terbuka tanpa menghakimi, sementara masyarakat dapat mengurangi stigma negatif terhadap anak muda yang menunda menikah.
Harapan ke Depan
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesiapan dalam menikah, diharapkan tren menunda menikah ini bisa diikuti dengan perencanaan yang matang dan hasil pernikahan yang lebih harmonis. Anak muda Indonesia harus didukung untuk mengejar cita-cita dan kebahagiaan sesuai dengan pilihan masing-masing tanpa harus dibebani tekanan sosial yang berlebihan.
Kesimpulan: Pertanyaan “Kapan nikah?” memang sering muncul sebagai ungkapan perhatian, namun bisa menjadi tekanan yang membebani anak muda Indonesia. Dengan memahami alasan mereka menunda menikah—mulai dari kesiapan finansial, fokus karier, kekhawatiran perceraian, hingga tekanan sosial—masyarakat dapat lebih bijak memberi dukungan dan ruang bagi generasi muda menentukan waktu terbaik dalam hidup mereka.