
Jakarta, Mata4.com – Penunjukan Angga Raka Prabowo sebagai Kepala Badan Komunikasi Pemerintah (BKP) oleh Presiden Prabowo Subianto memicu respons serius dari kalangan parlemen. Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang membidangi urusan komunikasi, informasi, dan pertahanan, secara terbuka meminta agar Angga segera mundur dari jabatannya sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamen Komdigi).
Komisi I beralasan bahwa posisi Kepala BKP adalah jabatan strategis yang memerlukan fokus, dedikasi penuh, dan independensi kerja, mengingat fungsinya sebagai pengelola utama komunikasi lintas kementerian/lembaga dan penyampai narasi resmi pemerintah kepada publik.
“Kami menyampaikan dengan tegas, rangkap jabatan seperti ini bukan hanya berisiko pada efektivitas kerja, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap profesionalisme penyampaian informasi pemerintah,” ujar Syamsu Rizal, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (18/9).
Dua Jabatan Strategis, Satu Sosok
Pelantikan Angga Raka sebagai Kepala BKP dilaksanakan pada 17 September 2025 di Istana Negara, Jakarta. BKP sendiri merupakan bentuk penguatan dari Presidential Communication Office (PCO) yang sebelumnya dipimpin Hasan Nasbi. Dalam struktur barunya, BKP tidak hanya menjadi tangan kanan presiden dalam komunikasi, tetapi juga berfungsi sebagai koordinator komunikasi antar lembaga negara dan pengelola strategi komunikasi nasional.
Angga, yang masih menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital sejak awal masa pemerintahan Prabowo-Gibran, kini memegang dua jabatan kunci di bidang komunikasi pemerintahan. Bahkan, berdasarkan informasi publik, Angga juga tercatat sebagai Komisaris Utama PT Telkom Indonesia, menjadikannya salah satu figur pemerintahan dengan rangkap jabatan terbanyak di sektor strategis.
DPR Soroti Beban Tugas dan Potensi Konflik Kepentingan
Komisi I DPR menilai bahwa peran sebagai Kepala BKP tidak bisa dijalankan sambil memegang tanggung jawab lain. Beban kerja yang berat dan ekspektasi publik terhadap komunikasi pemerintah menuntut konsentrasi penuh dari pejabat yang bersangkutan.
“Kalau komunikasi pemerintah disatukan dalam satu badan khusus, maka Kepala BKP seharusnya menjadi satu-satunya figur yang bertanggung jawab terhadap strategi, krisis komunikasi, narasi publik, dan persepsi kebijakan. Bagaimana mungkin itu dijalankan optimal jika juga harus menjalankan tugas sebagai wakil menteri?” ujar Rizal.
Beberapa anggota DPR lainnya juga menyuarakan hal serupa, menyebut bahwa praktik rangkap jabatan, meski tidak melanggar undang-undang secara eksplisit, berpotensi menciptakan konflik kepentingan, terutama jika pengambilan kebijakan menjadi tidak terkoordinasi atau tumpang tindih.
Tanggapan Angga Raka: “Tidak Ada Tumpang Tindih”
Menanggapi desakan tersebut, Angga Raka Prabowo menyatakan bahwa dirinya memahami kekhawatiran yang disampaikan DPR, namun meyakinkan publik bahwa antara jabatan Wamen Komdigi dan Kepala BKP tidak terjadi tumpang tindih, bahkan justru saling melengkapi.
“Fungsi BKP adalah koordinatif, bukan operasional. Justru dengan saya menjabat sebagai Wamen Komdigi, saya dapat menjembatani kerja antara kementerian dan badan komunikasi dengan lebih efisien,” ujar Angga kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Kamis (18/9).
Angga juga menyebut bahwa dirinya mendapat mandat langsung dari Presiden Prabowo untuk memperkuat disiplin komunikasi antar kementerian serta mengintegrasikan narasi pemerintahan agar tidak terjadi fragmentasi informasi.
“Presiden menugaskan saya untuk memastikan bahwa setiap pesan kebijakan berjalan utuh dari pusat ke daerah, dari presiden hingga ke level teknis. Ini kerja besar, dan saya siap,” tegasnya.
Rangkap Jabatan dalam Sorotan Publik
Di luar DPR, berbagai kalangan masyarakat sipil juga mengangkat kembali isu rangkap jabatan di tubuh pemerintahan, yang dianggap dapat menurunkan kualitas pelayanan publik dan melemahkan akuntabilitas pejabat.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Tata Kelola Negara (PSTKN), Dr. Maria Lestari, praktik rangkap jabatan di posisi strategis seperti ini dapat menimbulkan persepsi publik yang negatif, terlepas dari kemampuan pribadi pejabat tersebut.
“Kita bicara soal persepsi publik dan efektivitas birokrasi. Rangkap jabatan—apalagi sampai tiga seperti ini—bisa menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan dan konsentrasi kerja. Harus ada evaluasi dari Presiden sebagai kepala pemerintahan,” jelas Maria.
Ia juga menambahkan bahwa dalam konteks komunikasi publik, transparansi sangat penting. Jika komunikasi pemerintah dijalankan oleh satu sosok dengan banyak peran, publik akan sulit menilai siapa yang bertanggung jawab dalam situasi krisis komunikasi atau kesalahan informasi.
Apakah Ada Aturan yang Dilanggar?
Secara hukum, tidak ada aturan eksplisit yang melarang seorang wakil menteri merangkap sebagai kepala lembaga non-struktural seperti BKP. Namun, praktik administrasi pemerintahan yang sehat menekankan pentingnya pembagian peran yang jelas, terutama di bidang yang sangat vital seperti komunikasi strategis.
Beberapa ahli hukum administrasi negara menyarankan pemerintah untuk segera menyusun regulasi tambahan atau revisi Peraturan Presiden terkait pengangkatan dan pembatasan jabatan rangkap guna menghindari ketidakjelasan peran dan akuntabilitas.
Respons Pemerintah Masih Dinanti
Hingga artikel ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Sekretariat Negara maupun Istana Kepresidenan terkait kemungkinan peninjauan jabatan ganda Angga Raka Prabowo. Beberapa sumber internal menyebutkan bahwa evaluasi terhadap struktur komunikasi pemerintahan masih berjalan, dan belum ada keputusan final mengenai perubahan komposisi pejabat.
Sementara itu, Komisi I DPR akan menjadwalkan pemanggilan terhadap Angga dalam agenda rapat dengar pendapat (RDP) dalam waktu dekat, guna meminta klarifikasi secara langsung dan terbuka di hadapan publik.
Penutup: Menakar Ulang Etika Jabatan di Era Digital
Kasus Angga Raka Prabowo membuka kembali diskusi tentang etika pengelolaan jabatan publik, khususnya dalam era digital dan disrupsi informasi yang menuntut kecepatan, ketepatan, dan konsistensi komunikasi dari negara kepada rakyat.
Di tengah meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintah, keputusan untuk memfokuskan atau membatasi peran pejabat publik dinilai sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan politik Presiden serta kabinetnya.