
Jakarta, Mata4.com — Penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di Indonesia kembali mendapat sorotan tajam publik. Kali ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menangani perkara besar yang menyangkut dugaan penyelewengan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari dua lembaga strategis negara, yakni Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kasus ini menjadi penting dan menarik perhatian luas karena menyangkut kepercayaan publik terhadap dua lembaga keuangan yang selama ini berperan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Dana CSR seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan sosial masyarakat—seperti beasiswa, pembinaan UMKM, pembangunan fasilitas umum, hingga pemberdayaan ekonomi desa. Namun, dalam realitasnya, sebagian dana tersebut justru diduga mengalir ke kantong pribadi atau pihak-pihak yang tidak berhak.
Kronologi dan Fakta Awal: Dari Penggeledahan hingga Pemanggilan
KPK mulai melakukan penyelidikan sejak pertengahan 2024, berdasarkan laporan awal tentang kejanggalan dalam alokasi dana sosial. Dugaan penyelewengan menguat setelah KPK menemukan bahwa sejumlah aliran dana CSR tidak memiliki bukti penggunaan yang jelas.
Puncaknya terjadi pada Desember 2024, ketika tim penyidik KPK melakukan penggeledahan besar-besaran di kantor pusat Bank Indonesia. Tidak hanya itu, ruang kerja pejabat tinggi termasuk milik Gubernur BI turut diperiksa. Keesokan harinya, kantor pusat OJK juga digeledah, yang memperkuat dugaan bahwa kedua lembaga ini memiliki keterkaitan sistemik dalam mekanisme penyaluran dana CSR yang tidak transparan.
Dalam proses tersebut, KPK menyita berbagai dokumen keuangan, data elektronik, dan laporan pertanggungjawaban fiktif, yang kini menjadi bagian dari barang bukti penting.
Modus Penyelewengan: Skema Sistematis Gunakan Yayasan dan Proyek Fiktif
Berdasarkan temuan KPK, modus operandi dalam kasus ini cukup sistematis dan rapi. Alur dugaan korupsi CSR dari BI dan OJK dapat digambarkan sebagai berikut:
- Dana CSR dari BI dan OJK dialokasikan secara resmi untuk program-program sosial.
- Dana tersebut disalurkan melalui sejumlah yayasan atau organisasi mitra yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut.
- Namun, sebagian yayasan yang digunakan ternyata fiktif atau tidak aktif secara nyata di lapangan.
- Dana yang masuk ke yayasan kemudian dialihkan ke pihak-pihak tertentu, termasuk pejabat internal, pihak swasta, bahkan diduga anggota legislatif.
Salah satu yayasan yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah Yayasan Giri Raharja, yang disebut-sebut sebagai ‘perantara’ aliran dana dari CSR ke aktor-aktor politik. KPK menemukan bukti aliran dana ke rekening pribadi dan penggunaan yang tidak sesuai dengan tujuan awal.
Pemanggilan Pejabat dan Penggalian Keterangan Saksi
Dalam proses penyidikan, KPK telah memanggil dan memeriksa banyak pihak, baik dari internal BI dan OJK maupun dari eksternal, termasuk:
- Tri Subandoro (Kepala Departemen di BI)
- Erwin Haryono (Direktur Eksekutif BI)
- Indarto Budiwitono dan Enrico Harianto (Pejabat OJK)
- Bendahara Yayasan Abhinaya Dua Lima (diduga yayasan perantara dana CSR)
- Serta sejumlah mantan pegawai dan konsultan
Yang menarik, pemanggilan tidak hanya terbatas pada unsur eksekutif. KPK juga memanggil nama-nama dari unsur legislatif, termasuk anggota Komisi XI DPR RI yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan penganggaran terhadap BI dan OJK. Salah satunya adalah Dolfie O.F. Palit, mantan Ketua Panja Anggaran OJK, yang diminta menjelaskan aliran dana sosial yang masuk ke pihak luar melalui jalur anggaran DPR.
Lambatnya Penetapan Tersangka: Kritik dan Tekanan Meningkat
Meskipun penyidikan telah berlangsung lebih dari 8 bulan, KPK sempat belum menetapkan tersangka. Hal ini memicu spekulasi publik dan kritik tajam dari aktivis antikorupsi.
Organisasi Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bahkan melayangkan somasi kepada KPK, menuntut transparansi dan percepatan proses hukum. Mereka menilai lambatnya proses ini berisiko menimbulkan kesan bahwa kasus ini “ditahan” karena melibatkan pejabat penting dan elite politik.
Namun, pada pertengahan 2025, KPK akhirnya mengonfirmasi bahwa dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka, meskipun nama dan jabatan mereka belum dipublikasikan demi kepentingan penyidikan.

www.service-ac.id
KPK Bantah Adanya Intervensi Politik
Menanggapi kritik publik, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menegaskan bahwa tidak ada intervensi apa pun dalam penanganan kasus ini. Ia menyatakan bahwa KPK bekerja secara independen dan berdasarkan alat bukti yang sah.
“Kami tidak melihat siapa yang terlibat. Mau itu pejabat, politisi, atau siapa pun, jika memang terbukti menyalahgunakan dana CSR, maka akan kami tindak,” tegasnya dalam konferensi pers.
Implikasi Kasus: Kepercayaan Publik dan Tata Kelola CSR Dipertaruhkan
Kasus ini menjadi sangat penting karena menyangkut tata kelola keuangan publik, terutama dalam hal dana CSR yang seharusnya menjadi bentuk tanggung jawab sosial lembaga terhadap masyarakat.
Jika benar dana CSR diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan politik, maka kerugian tidak hanya berupa kerugian negara, tetapi juga kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Dr. Vina Lestari, menyebut bahwa ini adalah kasus moral dan struktural. “Ketika lembaga sekelas BI dan OJK ikut tercemar oleh dugaan korupsi dana sosial, maka kita menghadapi krisis moral dalam pengelolaan lembaga keuangan,” ujarnya.
Penutup: Menanti Penuntasan dan Keadilan
Saat ini, masyarakat menanti langkah tegas KPK untuk menuntaskan kasus ini secara terbuka dan adil. Transparansi dalam penetapan tersangka, pengungkapan peran yayasan perantara, serta keterlibatan oknum legislatif menjadi harapan utama publik.
KPK telah menegaskan bahwa konstruksi perkara hampir rampung dan akan diumumkan secara resmi dalam waktu dekat.
Jika Terbukti, Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?
- Apakah hanya pihak yayasan?
- Apakah BI dan OJK akan melakukan evaluasi menyeluruh?
- Apakah DPR akan menyelidiki anggota yang terlibat?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi ujian integritas bagi seluruh institusi yang terlibat.
Update selanjutnya akan sangat menentukan:
Apakah penegakan hukum di Indonesia mampu berdiri di atas kepentingan rakyat, atau kembali tunduk pada tekanan elite?