Jakarta, 18 Juli 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan secara terbuka bahwa lembaganya tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang tengah digodok pemerintah bersama sejumlah institusi penegak hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai arah pembaruan hukum pidana di Indonesia, khususnya terhadap keberlangsungan fungsi dan kewenangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers resmi yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, pada Kamis (17/7). Menurutnya, sejak awal proses penyusunan hingga tahap finalisasi DIM oleh pemerintah, tidak pernah ada pelibatan KPK secara formal.
“Setahu saya, sampai dengan hari-hari terakhir, memang KPK tidak dilibatkan dalam pembahasan DIM RKUHAP,” kata Setyo. “Ini tentu sangat kami sayangkan, mengingat RKUHAP memuat aturan-aturan yang menyangkut secara langsung kewenangan lembaga kami.”
Latar Belakang RKUHAP dan Penyusunan DIM
Rancangan KUHAP merupakan bagian dari reformasi besar-besaran sistem hukum pidana Indonesia, yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Revisi ini dimaksudkan untuk menggantikan KUHAP lama yang disusun sejak era Orde Baru. Pada 23 Juni 2025, pemerintah menyelesaikan DIM RKUHAP dan menandatanganinya bersama Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI.
Namun dari penelusuran, tidak ada tanda-tanda bahwa KPK pernah dilibatkan dalam penyusunan DIM tersebut. Padahal sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK sejatinya memiliki posisi strategis yang semestinya diperhitungkan dalam perubahan hukum acara pidana nasional.
17 Poin Krusial: RKUHAP Dinilai Mengancam Kewenangan KPK
Sebagai tanggapan atas tidak dilibatkannya KPK dalam pembahasan, lembaga antirasuah itu segera membentuk tim kajian internal untuk meneliti substansi RKUHAP. Dalam waktu singkat, tim menemukan 17 poin penting yang dianggap dapat melemahkan fungsi dan efektivitas KPK. Beberapa di antaranya adalah:
- Penghapusan tahapan penyelidikan secara eksplisit dalam RKUHAP.
- Keterbatasan kewenangan penyadapan, yang hanya boleh dilakukan setelah masuk tahap penyidikan dan harus melalui izin pengadilan dalam waktu 1×24 jam.
- Penetapan tersangka hanya boleh dilakukan setelah adanya dua alat bukti yang diperoleh dalam penyidikan, yang berbeda dari praktik KPK selama ini.
- Kewajiban penghentian perkara melalui hakim pemeriksa pendahuluan (HPP), bukan sepenuhnya berada di tangan penyidik dan penuntut umum.
- Peniadaan posisi lex specialis UU KPK terhadap KUHAP, sehingga KPK harus tunduk pada seluruh prosedur dalam KUHAP, termasuk pada hal-hal yang selama ini diatur berbeda dalam UU No. 19 Tahun 2019.
Selain itu, KPK juga menyoroti aturan soal masa penahanan yang lebih singkat, keterbatasan penggunaan keterangan saksi dari penyelidikan, dan ketidaksesuaian antara RKUHAP dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dengan kewenangan lembaga dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan TNI atau pejabat tinggi negara.
Langkah KPK: Akan Sampaikan Kajian Resmi ke DPR dan Presiden
Ketua KPK menyampaikan bahwa pihaknya telah menyusun kajian tersebut ke dalam dokumen resmi yang akan segera diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, Komisi III DPR RI, dan Kementerian Hukum dan HAM.
“Kami akan sampaikan secara resmi kepada Panitia Kerja (Panja) dan juga kepada pemerintah, agar ada ruang diskusi terbuka. Masukan dari KPK tidak untuk menyerang, tapi justru ingin memperkuat substansi RKUHAP agar tidak bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi,” jelas Setyo.
Reaksi Publik dan Masyarakat Sipil: Langkah Mundur Reformasi
Ketidakterlibatan KPK dalam penyusunan DIM RKUHAP memicu reaksi keras dari elemen masyarakat sipil, aktivis antikorupsi, dan pakar hukum. Banyak yang menganggap hal ini sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip partisipasi publik dan transparansi, yang seharusnya menjadi pilar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ahmad Hariri, peneliti dari Lembaga Studi Antikorupsi (LSAK), mengatakan bahwa ketidakhadiran KPK dalam proses penting ini menunjukkan bahwa agenda pemberantasan korupsi telah digeser dari prioritas nasional.
“KPK tampaknya dipinggirkan secara sistematis. Ini bukan hanya soal teknis, tetapi menyangkut arah politik hukum kita ke depan,” ujarnya.
Permintaan Transparansi dan Partisipasi dalam Legislasi
KPK menekankan bahwa pihaknya tidak menolak perubahan hukum, namun menginginkan agar proses legislasi dilakukan secara inklusif dan transparan. Reformasi hukum tidak boleh dilakukan secara tertutup, apalagi jika menyangkut lembaga penegak hukum yang memiliki peran strategis dalam pemberantasan kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Setyo Budiyanto juga berharap agar pembahasan lanjutan RKUHAP di DPR nantinya membuka ruang diskusi dengan melibatkan KPK dan para pemangku kepentingan lainnya. Keterlibatan berbagai pihak, menurutnya, akan membuat substansi RKUHAP lebih kuat, adil, dan sesuai dengan kebutuhan sistem peradilan pidana modern.
Kesimpulan
Pernyataan KPK bahwa mereka tidak dilibatkan dalam pembahasan DIM RKUHAP menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat hukum dan publik secara umum. Dengan ditemukannya 17 poin yang berpotensi mengancam kewenangan KPK, publik kini menanti bagaimana sikap pemerintah dan DPR RI dalam menyikapi masukan tersebut.
Apakah RKUHAP akan tetap dilanjutkan tanpa penyesuaian terhadap UU KPK? Ataukah akan ada ruang perbaikan untuk memastikan pemberantasan korupsi tetap menjadi agenda utama dalam sistem hukum nasional? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi ujian penting dalam komitmen negara melawan korupsi.
